Agama dan Kekerasan

Oleh: Sunaryo

Apakah agama mengajarkan tindak kekerasan? Kita pada umumnya akan menjawab bahwa agama tidak mengajarkan dan bahkan menolak seluruh tindakan kekerasan. Pertanyaannya kemudian, mengapa ada orang yang melakukan tindakan kekerasan (dalam beragam bentuk) dengan mengatasnamakan agama? Sebagian menjawab bahwa apa yang dilakukannya tidak dibenarkan dan tidak sesuai dengan nilai-nilai agama. Sementara sebagian yang lain barangkali akan menjawab bahwa memang ada doktrin-doktrin agama yang memberikan legitimasi bagi tindak kekerasan.

Pertanyaan-pertanyaan tentang agama dan kekerasan sebenarnya pertanyaan klasik, yang kembali diputar ketika muncul fenomena kekerasan atas nama agama. Hari-hari ini, kita disodorkan fenomena yang sangat tidak mengenakkan, di mana ada orang yang melakukan kekerasan dengan mengebom dirinya sendiri di tempat yang sudah ditarget dengan justifikasi agama.

Terhadap kenyataan ini, kita sejatinya tidak bisa menolak dengan memberikan klarifikasi bahwa apa yang dilakukan oleh para pelaku kekerasan sama sekali tidak sesuai dengan nilai-nilai agama. Faktanya, ada banyak orang mengampanyekan kekerasan dan kebencian atas nama agama. Mereka mengutip ayat dalam kitab suci dan sumber-sumber agama lainnya.

Agama atau secara spesifik teks kitab suci sebagai fondasi agama adalah sumber yang multitafsir. Dari agama yang sama, kita bisa menemukan para penganut agama yang cenderung pada tindakan kekerasan. Namun, pada sisi yang lain kita juga bisa menjumpai penganut yang sangat lembut dan welas asih. Yang pertama, mereka sangat menekankan sisi agama yang keras, sementara yang kedua lebih menekankan sisi agama yang welas asih.

Pertanyaannya selanjutnya, mengapa yang pertama mengambil sisi agama yang keras, sementara yang kedua mengambil sisi agama yang lembut dan welas asih. Terhadap pertanyaan ini maka kita tidak lagi cukup menjelaskan soal tafsir semata. Pilihan pada tafsir tertentu didasari pengalaman sosial yang dialami, dan juga oleh pergaulan mereka dengan para significant others. Kita harus mencari penjelasan dari perspektif kritik sosial, yakni dengan menelusuri relasi-relasi sosial kelompok bersangkutan secara lebih komprehensif.

Perasaan menjadi korban ketidakadilan oleh kelompok tertentu atau oleh negara mendorong orang untuk mencari legitimasi perlawanan. Para penganut agama yang berhaluan radikal pada umumnya merasa bahwa negara sekuler semacam Indonesia adalah negara yang tidak sesuai dengan tuntunan Islam. Negara ini tidak mendasarkan pada kitab suci umat Islam. Karenanya negara semacam ini layak untuk disebut tagut atau tiran. Ini narasi yang mereka bangun.

Institusi negara juga kerap kali membatasi ruang gerak aktivitas mereka dalam mendakwahkan keyakinannya yang radikal. Bagi mereka, kenyataan ini sudah cukup menjadi bukti bahwa sistem semacam ini layak untuk diperangi. Untuk memerangi sistem ini mereka mengembangkan model tafsir yang melegitimasi perlawanan mereka. Bahkan, dalam keyakinan mereka, perlawanan terhadap negara macam ini dianggap sebagai jihad.

Perlawanan yang mereka lakukan adalah dengan mengampanyekan tafsir keagamaan yang keras. Dalam melakukan itu, mereka mencoba meyakinkan berbagai pihak bahwa sejatinya agama yang diyakininya itu memang harus melakukan perlawanan. Kerap kali mereka menyampaikan itu secara rahasia, tetapi tidak jarang pandangan tersebut diungkapkan secara publik lewat pengajian-pengajian yang tidak terpantau oleh aparat.

Fenomena kekerasan atas nama agama merupakan peringatan bagi institusi negara dan juga bagi para tokoh agama. Kepada negara, kita berharap agar mereka melakukan berbagai upaya baik yang bersifat preventing maupun countering. Sementara kepada para tokoh agama, mereka memiliki peran penting dalam memberikan pandangan keagamaan yang moderat dalam masyarakat Indonesia yang sangat beragam. Para tokoh agama harus meyakinkan para umatnya bahwa hidup dalam masyarakat yang beragam seperti Indonesia bukanlah sebuah dosa, sehingga kita tidak perlu memiliki kehendak untuk melenyapkan perbedaan. Keragaman adalah takdir kita sebagai umat manusia. Kita tidak perlu mempersoalkan keragaman, tetapi berlomba-lombalah untuk memberikan yang terbaik bagi seluruh umat manusia, bukan kesengsaraan.

Penulis adalah pengajar di Universitas Paramadina Jakarta.

sumber:

http://www.beritasatu.com/ramadansatu/jalan-pulang/492617-agama-dan-kekerasan.html 

About us

Universitas Paramadina berdiri pada 10 Januari 1998, mengemban misi untuk membina ilmu pengetahuan rekayasa dengan kesadaran akhlak mulia demi kebahagiaan bersama seluruh umat manusia.

Latest Posts

Hubungi Kami

Kampus Jakarta
Universitas Paramadina
Jl. Gatot Subroto Kav. 97
Mampang, Jakarta 12790
Indonesia
T. +62-21-7918-1188
T. 0815-918-1190

E-mail: [email protected]
http://www.paramadina.ac.id 

Kampus Cipayung
Jl. Raya Mabes Hankam Kav 9, 
Setu, Cipayung, Jakarta Timur 13880�
T. 0815-818-1186


Kampus Cikarang

District 2, Meikarta,
Cikarang
T. 0815-918-1192�