Dilema Pembangunan Bertumpu Utang

Metrotvnews.com, Jakarta: Untuk mewujudkan rencananya membangun infrastruktur sekaligus penyehatan fiskal, Presiden Joko Widodo mengambil langkah tak populis dengan membuat kebijakan memangkas subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis premium. Meski menyadari langkah ini menimbulkan banyak reaksi negatif, lantaran membuat harga premium naik dari Rp6.500 menjadi Rp8.500 per liter, Jokowi tak bergeming.

Subsidi BBM dipandang sebagai pengeluaran tak produktif yang selalu membebani pemerintah serta membuat Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) menjadi tidak sehat. Apalagi, ditengarai subsidi BBM lebih banyak dinikmati warga kaya alias masyarakat kalangan atas ketimbang wong cilik.  Dengan demikian, subsisi BBM dinilai tidak tepat sasaran. Niat pemerintah adalah membuat alokasi dana bagi subsidi BBM dialihkan untuk membiayai program pembangunan sehingga publik dampaknya bisa lebih jangka panjang dinikmati seluruh masyarakat Indonesua, termasuk penduduk menengah bawah. "Subsidi kami alihkan dari sektor-sektor yang konsumtif. Kami geser ke sektor produktif. Jangan sampai setiap tahun membakar Rp300 triliun dan kita tidak melakukan apa-apa. Subsidi harus tepat sasaran," ujar Jokowi dalam wawancara yang ditayangkan Mata Najwa di Metro TV pada Minggu 23 November 2014 silam.

Namun, pada tahun 2015, harapan penyehatan fiskal melalui jalur penerimaan pajak pupus. Hingga tahun fiskal berjalan Mei 2016 defisit melebar. Total anggaran turun dari Rp1.822 triliun pada APBN 2016 menjadi Rp1.734 triliun pada RAPBN-P 2016 akibat merosotnya penerimaan negara sebesar Rp88 triliun.

Susutnya penerimaan ini dikompensasi dengan pengurangan belanja sebesar Rp48 triliun dan tambahan pembiayaan utang Rp40 triliun. Pengurangan belanja negara yang tak sebanding dengan penurunan negara menyebabkan meningkatnya rencana defisit anggaran di 2016, dari Rp273 triliun (2,15 persen dari PDB) menjadi Rp313 triliun (2,48 persen dari PDB).

Menurut Firmanzah, ancaman defisit fiskal muncul setelah neraca perdangan jeblok seiring pelambatan pertumbuhan ekonomi dunia. Pasar komoditas amat tak bergairah. Padahal Indonesia selalu mengandalkan sektor komoditas untuk pasokan devisa. Produk Domestik Bruto Regional (PDBR) daerah masih ditopang kinerja ekspor barang mentah. Permintaan impor produk sumber daya alam maupun dan sumber energi dari Indonesia menurun.

Sementara itu, penerimaan pajak tak mencapai target membuat pemerintah kelimpungan dalam upaya membiayai belanja negara yang gencar pada pembangunan infrastruktur.  "Pendapatan sektor perpajakan tidak seoptimal sebelumnya. Sementara kebutuhan meningkat, belanja infrastruktur dan sebagainya. Dampaknya, defisit fiskal melebar," kata Fiz, sapaan Firmanzah.

Maka, pemerintah terpaksa menambah pinjaman alias utang untuk menghindari risiko gagal fiskal. Menurut Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo, pinjaman pemerintah berkontribusi pada peningkatan utang luar negeri pada awal tahun 2016.

Menurut Agus, dalam tiga bulan pertama 2016 utang pemerintah tumbuh 6,4 persen sehingga mencapai US$146,16 miliar. "Karena kemarin ada dukungan untuk anggaran yang perlu dikeluarkan, sehingga dikeluarkan surat utang pemerintah baik yang sifatnya konvensional maupun dalam bentuk sukuk," katanya pada Jumat, 20 Mei 2016 silam

Sementara itu, utang swasta tercatat sebesar USD164,7 miliar yang umumnya terkait dengan kegiatan investasi yang dilakukan oleh pemerintah dan kemudian berdampak pada swasta.

Meski total ULN yang mencapai US$316 miliar sampai dengan kuartal I-2016, Agus mengatakan rasio utang luar negeri (ULN) terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih aman, di angka 36,5 persen.

Fiz pun menyatakan hal senada. Menurut dia, beberapa negara di dunia rasio utangnya bisa 60 sampai 70 persen. Jepang bahkan berani dengan perbandingan utang dalam anggaran negaranya diatas 100 persen. "Utang kita masih terjaga dikisaran 30an persen. Tapi memang ada indikator debt service ratio, cadangan devisa valuta asing untuk membayar utang luar negeri," kata Fiz.

Justru yang perlu diawasi saat ini adalah utang swasta. Pasalnya, seperti di Jepang dan Eropa suku bunganya sangat rendah. Bunga murah ini menarik bagi koorporasi. "Rasanya ini tugas pemerintah, BI, dan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) untuk memonitor dan evaluasi utang-utang swasta," kata Fiz.

Sejumlah kalangan menilai kebijakan ekonomi pemerintahan Jokowi tidak populis dan justru berisiko menghambat pertumbuhan ekonomi.  Bahkan, tepat setahun pemerintahan Jokowi-JK, masyarakat pengguna jejaring sosial di jagad maya menumpahkan kekecewaan terhadap kinerja pemerintah melalui topik bertanda pagar #365hariJokowiJKgagal. Isu tersebut menjadi trending topic di Twitter. Beberapa survei juga menunjukkan kepercayaan rakyat menurun paska Jokowi-JK dilantik sebagai presiden dan wakil presiden RI.

Namun lambat laun kebijakan-kebijakan pemerintah menunjukan hasil positif. Belakangan, pemangkasan subsidi BBM disebut sukses meringankan beban APBN. Juga membangun kesadaran efisiensi di berbagai bidang, terutama dalam penggunaan energi.

Salah satu yang memuji adalah Presiden Amerika Serikat, Barack Obama. Ia memberikan apresiasi kepada Indonesia yang berani menempuh jalan sulit untuk melakukan reformasi struktural di bidang energi dengan menghapus subsidi BBM.

"Langkah Presiden Jokowi yang berani menyelelesaikan beban subsidi BBM merupakan tindakan yang tidak semua negara berani melakukannya," kata Obama dalam keterangan tertulisnya. Baca: Presiden Obama Memuji Reformasi Bidang Energi

Ditambah lagi, pemberantasan mafia migas yang ditandai dengan pembubaran petral, dianggap sebagai kemauan politik dan niat baik pemerintah dalam penataan industri migas tanah air. Niat itu juga diperkuat dengan upaya menurunkan harga gas industri agar daya saingnya lebih kompetitif.

Kesimpulannya, menurut Firmanzah, dalam evaluasi kinerja pemerintahan Jokowi-JK dalam dua tahun, ekonomi Indonesia secara makro masih terjaga. Indikasinya, cadangan devisa meningkat, nilai tukar rupiah terjaga, suku bunga terkendali, termasuk inflasinya.

Selain itu, angka kemiskinan yang pada 2015 meningkat, kini mengalami perbaikan. Penciptaan lapangan kerja masih dan harus terus dilakukan. "Dan yang paling penting, mempercepat dan mengawal paket-paket kebijakan yang sudah dikeluarkan," kata Fiz.

Yang menjadi pertanyaan ketika paket kebijakan ekonomi sudah banyak diterbitkan, mengapa indeks daya saing global Indonesia menurun? "Jelas ada sesuatu yang perlu diperbaiki dalam implementasinya," kata Firmanzah.

Dia memprediksi, hingga 2017 iklim ekonomi dunia masih tidak menentu. Faktornya antara lain, langkah Inggris keluar dari Uni Eropa, kemudian pertumbuhan ekonomi RRC yang diperkirakan belum membaik sepenuhnya.

Selain itu, faktor ketidakpastian Federal Reserve selaku bank sentral Amerika Serikat dalam menaikkan suku bunga acuannya juga berpengaruh. Apakah diterapkan tahun ini atau tahun depan, tentu itu berdampak pada sentimen pasar keuangan dunia, segala imbas dari goncangan yang diciptakannya tentu ikut dirasakan oleh Indonesia.

Sementara itu produksi dan pasar komoditi pada 2017 diperkirakan masih akan melambat. Hal ini tentu menjadi tekanan terhadap kinerja ekspor Indonesia. Termasuk harga minyak mentah yang masih relatif dalam tekanan. Menurut Firmanzah faktor-faktor global ini harus diantisipasi. Langkah yang bisa dilakukan pemerintahan Jokowi adalah tetap kedepankan fiscal prudential atau kehati-hatian dalam pengelolaan fiskal.

Karena prioritas Jokowi adalah percepatan pembangunan infrastruktur, maka menurut Firmanzah pemerintah harus terus mendorong keterlibatan swasta dalam pembangunan infrastruktur. Selanjutnya, pemerintah perlu membangun kapasitas dan kemampuan aparat di daerah untuk mengelola dana transfer daerah.

"Anggaran ini sudah cukup besar. Kepala daerah, perencana daerah, harus terus didorong agar dananya teroptimalkan. Sesuai prinsip Jokowi, membangun dari pinggiran," katanya.

Selain itu, ekonomi maritim yang diprogramkan sejak awal perlu dipertegas kembali, dihidupkan. "Isu tol laut lambat laun kurang mendapat perhatian. Kita perlu hidupkan kembali wacana tematik itu," kata Fiz.

(ADM)

sumber:

http://telusur.metrotvnews.com/news-telusur/9K57nQBb-dilema-pembangunan-bertumpu-utang

 

About us

Universitas Paramadina berdiri pada 10 Januari 1998, mengemban misi untuk membina ilmu pengetahuan rekayasa dengan kesadaran akhlak mulia demi kebahagiaan bersama seluruh umat manusia.

Latest Posts

Hubungi Kami

Kampus Jakarta
Universitas Paramadina
Jl. Gatot Subroto Kav. 97
Mampang, Jakarta 12790
Indonesia
T. +62-21-7918-1188
T. 0815-918-1190

E-mail: info@paramadina.ac.id
http://www.paramadina.ac.id 

Kampus Cipayung
Jl. Raya Mabes Hankam Kav 9, 
Setu, Cipayung, Jakarta Timur 13880�
T. 0815-818-1186


Kampus Cikarang

District 2, Meikarta,
Cikarang
T. 0815-918-1192�