User Experience dan Interaksi Manusia: Peranan Psikologi Dalam Era Digital dan Teknologi

Kuliah Umum Peranan Psikologi Dalam Era Digital dan Teknologi yang merupakan kegiatan kerjasama antara Program Studi Psikologi dan Ikatan Alumni Psikologi Paramadina (ALUPSIPA) yang dibawakan oleh Narasumber yaitu Ahmad Saufani S.Psi, sebagai alumni Program Studi Psikologi pada hari Senin, 16 Maret 2018 mengarahkan pada peranan keilmuan psikologi secara terapan dalam dunia digital dan teknologi khususnya pada area start up. Secara ringkas pemaparan materi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Kemunculan media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram hingga aplikasi chatting seperti LINE, Whatsapp hingga Telegram seolah menjadi daya tarik bagi masyarakat Indonesia untuk rela terkoneksi dengan internet agar dapat mengakses fitur-fitur media sosial dan aplikasi chatting tersebut. Seolah dunia berada dalam satu genggaman. Karena beragam informasi tersedia dengan begitu cepat dan mudah diakses serta dapat terkoneksi satu dengan lainnya tanpa menghiraukan jarak dan waktu. Celah seperti inilah yang akhirnya dimanfaatkan para inovator untuk memberikan apa yang pengguna butuhkan. Sehingga wajar saja di saat ini telah banyak muncul inovasi-inovasi baru yang berdasarkan pada istilah “startup”. Meskipun semua bermula dari Amerika Serikat dengan Silicon Valley-nya hingga memunculkan inovasi-inovasi yang kini telah menjadi raksasa teknologi seperti Google, Facebook, Amazon hingga, tetapi tren positif tersebut dengan begitu cepat menular ke Asia termasuk Indonesia. Maka tak mengherankan jika Indonesia kini menjadi salah satu negara di Asia yang menjadi target para investor untuk mengembangkan inovasi akan peluang yang ada.

Benar saja di Indonesia kini telah ada empat unicorn yang dalam dunia “startup” merupakan sebuah “gelar” yang diberikan kepada startup yang memiliki valuasi lebih dari $1 miliar. Artinya bahwa startup tersebut memiliki kemungkinan kecil untuk “gulung tikar”. Keempat unicorn tersebut adalah Go Jek, Tokopedia, Traveloka dan Bukalapak. Lihat saja Go Jek, startup on-deman di bidang transportasi ini kini telah menjadi raksasa di negara sendiri dan sedang dalam proses pengembangan bisnis ke luar Indonesia. Begitupun dengan Tokopedia dan Bukalapak. Startup e-commerce ini dapat bertahan ditengah maraknya kemunculan e-commerce tanah air maupun luar negeri. Termasuk Traveloka yang mampu menjadi pemimpin dalam bidang travel di tanah air maupun beberapa negara di Asia Tenggara.

Lantas apa yang menjadikan Go Jek, Tokopedia, Traveloka dan Bukalapak menjadi sebesar sekarang dan dilirik oleh banyak investor melalui inovasi yang mereka tawarkan?
Sebagai contoh Go Jek. Ditengah buruknya kualitas dan pelayanan transportasi umum di Jakarta serta semakin identiknya Jakarta dengan situasi kemacetan, Go Jek hadir dengan memberikan kemudahan bagi pengguna untuk memberikan layanan antar jemput penumpang dengan biaya yang terjangkau dan efisiensi waktu ditengah kemacetan. Begitupun Tokopedia dan Bukalapak, yang menjadikan diri mereka sebagai “Mall” online sehingga mempertemukan penjual dan pembeli di dalam satu platform. Ide sederhana yang memberikan dampak begitu besar bagi para pengguna termasuk penjual ataupun pembeli. Traveloka pun memberikan kemudahan bagi para pengguna untuk keperluan travel mulai dari tiket, hotel hingga kebutuhan-kebutuhan travel lainnya.

Sisi positif yang bisa diambil adalah, keempat unicorn tersebut mampu memahami apa yang dibutuhkan pengguna. Bukan tentang seberapa hebat inovasi yang akan dihasilkan, tetapi seberapa mampu memberikan solusi atas masalah yang ada. Tentu saja dengan memahami apa yang dibutuhkan pelanggan. Tapi lebih umum lagi, Mengapa startup startup bisa berhasil? Jawabannya ada pada User Experience. Seperti yang diungkapkan Monika Halim (VP Design Go Jek) pada acara 1000 Startup Digital Jakarta beberapa waktu lalu bahwa User Experience menjadi kunci keberhasilan suatu startup. Termasuk Go Jek. Kemudian Monica melanjutkan dengan ceritanya tentang Remot TV yang dari dulu sampai sekarang Tombolnya Banyak Banget tapi yang dipake cuman Tombol Volume atas bawah dan Tombol Pindah Channel. Poinnya adalah kadang-kadang kita terlalu asik sendiri sama apa yang kita pikirin, intinya sebenarnya apapun yang mau kita bikin itu sebenarnya asumsi. Monica punya cerita dimana ia pernah tergabung dalam Startup dibidang Jasa Rental Mobil On Demand (dengan nama Tremm) satu tahun lalu, ketika itu ia yakin (baca:terlalu berasumsi) bahwa Tremm bakal sukses besar tapi ketika meeting dengan beberapa VC (Venture Capital) mereka keluar dengan muka muram bahkan salah satu Investment Manager di suatu VC sempat bilang ke mereka “Kalian bikin yang kayak BIGO aja baru kita mau invest, jasa on-demand masih belum bisa diterapkan di Indonesia”. Monika melanjutkan bahwa ketika mereka membuat Startup biasanya terlalu banyak berasumsi dari ide, mau bikin ini mau bikin itu. Monika menambahkan bahwa mereka mau membuat solusi untuk orang lain tapi bahkan tidak berusaha mengenal orang lain tersebut dan harus tahu apasih yang mereka butuhkan.

Kalau tidak berhasil bukan berarti itu ide yang buruk bisa saja harusnya dikemas dengan cara yang lain dengan monika memberi contoh Apple (dengan menunjukan versi awal Apple Computer versi awal di Slidenya). “Kenapa ada folder, kenapa ada bentuknya trash, karena kebiasaan sebelum-sebelumnya orang kalau kerja di kantorkan mereka bener bener memakai Folder jadi ada rasanya ketika pengguna menggunakan maka yang ada di pikiran mereka. Ooo.. ini Folder yang biasa gua pake, tanpa harus dijelaskan Folder buat menyimpan File begitu juga dengan tempat sampah. Contoh lain tampilan Kalkulator yang mirip dengan kalkulator aslinya sampai ada bayangan bayangannya.”

Penjelasan dari Monika di atas adalah Startup bisa berhasil jika mampu memahami siapa sih penggunanya, apa yang dibutuhkan untuk memeberikan solusi bagi pengguna.
Dalam User Experience, ada beberapa hal yang menjadi poin penting:
a.    Fokus pada user. Who are they? What do they need? What is their problem? How can we solve the problem? Selalu lihat masalah dari kacamata pengguna, dan tawarkan apa yang terbaik buat mereka. Cara paling gampang, tanya dan dapetin feedback dari user. Disini ilmu psikologi berperan, bagaimana melakukan probing, mendengar orang lain serta memiliki objektivitas dari apa yang disampaikan oleh user. Apalagi konsep emphaty sangat dibutuhkan dalam poin ini.
b.    Kemampuan melihat dan menyelesaikan satu masalah dari berbagai sisi. UX is not all about design, but also text, program, code, and the whole nine yards. Ketika kita diberikan satu masalah, gimana menyatukan dan mengkompromikan semua faktor yang ada, sehingga menjadi sebuah solusi yang komprehensif. Makanya, punya tim yang kompak dan solid itu penting, sehingga ada yang bantu kita untuk cari ide dan mikir pemecahan masalahnya, biar ngga pusing sendiri!
c.    Rely on data. Start from research. Ketika sesuatu dimulai dari data, kita ngga akan berasumsi. Kalau ragu-ragu, cek lagi datanya, bener ngga sih? Ketika kita tidak berasumsi, maka diharapkan hasilnya akan akurat dan bisa dipertanggungjawabkan. Ilmu Psikologi juga memiliki peranan dalam hal ini. Sebagai bidang ilmu yang memiliki landasan metode penelitian yang kuat, para lulusan psikologi mampu melaksanakan penelitian yang hanya sebatas deskriptif statistic saja.
d.    Keeping things simple. Jangan sampai kita hanya sok-sokan mau bikin sesuatu agar kelihatan keren, padahal tidak ada gunanya, atau yang lebih parah, bikin jadi super ribet. Ini bukan soal pamer skill ngoding, tapi gimana menempatkan keahlian kita untuk efektivitas dan efisiensi. Keterkaitan dengan poin pertama, setelah memahami apa yang dibutuhkan pengguna, selajutnya mengimplementasikan ke dalam produk. Hasil research yang ditemukan (poin 3) bahwa pengguna tidak menyukai proses yang ribet dan panjang ketika mengakses atau menggunakan suatu produk baik berupa aplikasi, website ataupun produk lainnya. Mereka hanya membutuhkan kemudahan dan kesederhaan.

Penerapan ilmu Psikologi juga sebenarnya tidak hanya terbatas pada ranah user experience saja. Apalagi saat ini sedang terjadi disruptive teknologi yaitu Revolusi Industri 4.0 yang berusaha menggabungkan perangkat lunak dengan perangkat keras dan sebenarnya fokus pada objek fisik. Tetapi revolusi ini membawa tren tersendiri dalam perkembangannya dan tentu saja memiliki peluang besar bagi ilmu psikologi. Augmented Reality (AR)/Virtual Reality (VR), Human Machine Interface, Artificial Intelligence, IoT menjadi tren dalam revolusi industri 4.0 ini. Dimana tren-tren tersebut dalam prosesnya tetap membutuhkan user experience agar dapat diterima oleh pengguna.

About us

Universitas Paramadina berdiri pada 10 Januari 1998, mengemban misi untuk membina ilmu pengetahuan rekayasa dengan kesadaran akhlak mulia demi kebahagiaan bersama seluruh umat manusia.

Latest Posts

Hubungi Kami

Kampus Jakarta
Universitas Paramadina
Jl. Gatot Subroto Kav. 97
Mampang, Jakarta 12790
Indonesia
T. +62-21-7918-1188
T. 0815-918-1190

E-mail: info@paramadina.ac.id
http://www.paramadina.ac.id 

Kampus Cipayung
Jl. Raya Mabes Hankam Kav 9, 
Setu, Cipayung, Jakarta Timur 13880�
T. 0815-818-1186


Kampus Cikarang

District 2, Meikarta,
Cikarang
T. 0815-918-1192�