Iman dan Persoalan Teodise

 

Reporter: Ach. Fadil

Suatu ketika, Agustinus dan Anselmus mengeluarkan kredo yang berbunyi: “fides quaerens intellectum—iman mencari pengertian (pemahaman)”, dalam arti iman menuntut adanya pertanggungjawaban, baik secara teologis, maupun secara filosofis.

Mempertanggungjawabkan iman dengan dua hal itu sangat penting, terutama dengan semakin maraknya skeptisisme, ateisme dan agnostisisme ketuhanan di samping kita—sebagai kaum beriman—yang biasanya menggunakan argumen-argumen yang sangat ilmiah dan teoritis, seperti argumen-argumen ateisme yang dikemukakan oleh filsuf-filsuf sekaliber Feuerbach, Marx, Freud, Nietzsche, Sartre, Camus, atau agnostisisme yang dikemukakan oleh para filsuf sekaliber Kant, Karl Popper, dan Hans Albert; dan terlebih lagi, fenomena yang banyak terjadi di Indonesia menunjukkan betapa banyak sekali orang-orang yang sentimen dan sensitif pada madzhab yang berbeda dengan apa yang dianut oleh mereka. Minoritas dikucilkan oleh mayoritas, bahkan ditindas. Ironis.

Ateisme muncul di sekeliling kita karena berbagai alasan, salah satunya karena argumen-argumen terjadinya alam semesta, apakah ia ada yang menciptakan atau tidak. Para ateis yang kebanyakan berasal dari kalangan saintis mengatakan bahwa alam terjadi dengan sendirinya. Titik. Sehingga Tuhan tak perlu ada. Tapi di sisi lain, ada orang yang awalnya percaya Tuhan, lalu ia mendadak menjadi ateis karena persoalan: kejahatan, kemiskinan, bencana alam, dan lain-lain. Bagi mereka, mengapa Tuhan yang dianggap Maha Baik, Maha Bijaksana, membiarkan kejahatan dan penderitaan di muka bumi? Lalu mereka berkesimpulan bahwa Tuhan sebenarnya tidak ada. Persoalan itulah yang kemudian disebut dengan problem teodise (theos: Tuhan, dan dike: keadilan).

Bagi Subhi Ibrahim, argumentasi ateisme ilmiah lebih mudah disanggah daripada argumentasi ateisme yang disebabkan persoalan teodise (the theodicy problem). “Karena agumentasi ateisme ilmiah, biasanya paparannya logis, dan bisa dibantah dengan arggumentasi logis juga. Tapi ateisme karena problem teodise lebih sulit dibantah, karena orang mengalami sendiri penderitaan itu” tuturnya ketika mengisi mata kuliah filsafat ketuhanan yang diadakan secara terbuka di ruang B1-1, Universitas Paramadina, Senin (05/05/14).

Jawaban-jawaban yang biasa digunakan oleh kebanyakan kaum beriman dalam menjawab the problem of evil misalnya: adanya kejahatan atau keburukan sebagai ujian yang diberikan Tuhan untuk menguji kekuatan iman seseorang; sebagai upaya tuhan untuk mendatangkan kebaikan yang lebih besar untuk diberikan pada manusia; sebagai peringatan agar manusia ingat akan Tuhannya, dan seterusnya. Cara berpikir semacam itu menurut Subhi sangat lemah dan tidak bisa memuaskan nalar, dan karena memang gampang dipatahkan oleh mereka yang mengaku ateis. “Mengapa Tuhan memberikan cobaan, ujian, dan peringatan dengan penderitaan? Kalau memang mau mengingatkan manusia, mangapa dengan cara-cara hard seperti kemiskinan, banjir, dan lain-lain, kok tidak secara soft? ” tanyanya.

Pernyataan Subhi—eks Ketua Prodi Falsafah dan Agama—bukan semata isapan jempol. Tapi memang kalau kita melihat di dunia nyata, kita bisa melihat dan menyaksikan betapa banyaknya orang-orang yang membunuh anaknya, dan bahkan bunuh diri, disebabkan karena penderitaan, kemiskinan, hutang, dan lain sebagainya. Lalu, bagaimana menjawab persoalan teodise tersebut?

Dalam paparannya, sebagaimana juga tertuang dalam makalahnya yang berjudul “Menyangkal Tuhan karena Kejahatan dan Penderitaan? Ikhtiar Filsafati Menjawab Masalah Teodise”, ia memberi catatan bahwa untuk bisa menjawab the problem of evil, pertama-tama harus memperhatikan dua hal: pertama, moral bersifat dinamis-evolutif. Karena itu untuk mengkaji kejahatan, perlu mengenali kejahatan. Karena dengan perkembangan zaman, bisa saja suatu kejahatan (kriminalitas) yang saat ini dianggap sebagai kriminalitas, di masa lalu bukan dianggap sebagai kriminalitas, contoh perbudakan. Kedua, penyangkalan Tuhan berdasarkan kejahatan dan keburukan adalah suatu paradoks dan sangat kontradiktif. Mengapa? Karena bagi Subhi, rasa berontak terhadap kejahatan yang menyebabkan seseorang menyangkal adanya Tuhan, justru karena ia percaya pada kemutlakan kebaikan moral. “Perlawanan pada Tuhan atas nama ‘kebaikan moral’ itu absurd, dan tak masuk akal bila Tuhan dianggap tidak ada” tandasnya. Sekian.

About us

Universitas Paramadina berdiri pada 10 Januari 1998, mengemban misi untuk membina ilmu pengetahuan rekayasa dengan kesadaran akhlak mulia demi kebahagiaan bersama seluruh umat manusia.

Latest Posts

Hubungi Kami

Kampus Jakarta
Universitas Paramadina
Jl. Gatot Subroto Kav. 97
Mampang, Jakarta 12790
Indonesia
T. +62-21-7918-1188
T. 0815-918-1190

E-mail: info@paramadina.ac.id
http://www.paramadina.ac.id 

Kampus Cipayung
Jl. Raya Mabes Hankam Kav 9, 
Setu, Cipayung, Jakarta Timur 13880�
T. 0815-818-1186


Kampus Cikarang

District 2, Meikarta,
Cikarang
T. 0815-918-1192�