Etos Kerja dan Masjid: Persekutuan antara Agama dan Ekonomi

Reporter: Ach. Fadil

Perbincangan masalah agama dan etos kerja serta hubungan antar keduanya selalu menjadi perbicaraan yang sangat menarik. Apakah benar ada pengaruh agama dalam membangkitkan etos kerja dalam memperbaiki kehidupan perekonomian suatu masyarakat atau tidak, atau sama sekali terpisah dan taka da sangkut-pautnya?

Pihak tertentu berpendapat bahwa kemajuan dalam bidang ekonomi ditandai dengan bangkitnya etos kerja dalam diri masyarakat tidak ada sangkut-pautnya dengan prihal keagamaan (religiusitas). Di lain pihak, pandangan tersebut dianggap tidak sepenuhnya benar. Bagi pihak ini religiuisitas—tentu bukan arti harfiah, tetapi secara simbolis yang bermakna agama—mempunyai pengaruh yang kuat terhadap bangkitnya etos kerja di suatu masyarakat. Sehingga mereka bisa memperbaiki kondisi perekonomian yang melilit mereka.

Oleh karena itu, untuk mengkaji lebih lanjut, maka Rabu (04/12/13), Program Studi Falsafah dan Agama, Universitas Paramadina mengadakan launching buku sekaligus diskusi yang bertempat di Aula Nurcolish Majid, dengan tema: “Etos Kerja, Pasar dan Masjid: Transformasi Sosial-Kegamaan dalam Mobilitas Ekonomi Kemasyarakatan”. Tema tersebut diambil dari judul buku karya Moh. Lutfi Malik (alm)—yang sedang didiskusikan pada saat itu—dengan menghadirkan tiga pembicara diantaranya: Dr. Laode Ida, Prof. Abdul Hadi WM, dan Fachry Ali, MA, dan dimoderatori oleh Lukman Hakim. Turut Hadir juga pada waktu itu tokoh-tokoh intelektual seperti Prof. Dawam Raharjo, Prof. Dr. Taufiq Abdullah, dan lain-lain beserta keluarga besar dari almarhum yang menulis buku tersebut.

Acara tersebut terselenggara berkat kerjasama dengan penerbit Lembaga Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Acara yang dimulai pada pukul 09.30 tersebut dibuka dengan sambutan-sambutan pihak rektorat Universitas Paramadina yang diwakili oleh Totok Amien Sofiyanto, dan dilanjutkan sambutan dari pihak penerbit, Abdullah Syarwani.

Buku Etos Kerja, Pasar dan Masjid tersebut merupakan hasil penelitian dari Moh. Lutfi Hakim yang berlokasi di daerah Lakudo, Kabupaten Buton, di Provinsi Sulawesi Tenggara. Buku tersebut mengangkat tema besar etos kerja (ekonomi) berbasis kegamaan dengan inspirasi dari dua pemikir besar: Marx Weber dari sisi Protestan yang diambil dari bukunya “The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism” dan Ibnu Khaldun dari sisi Islam.

Tesis yang dikemukakan oleh Lutfi Hakim dalam buku tersebut kurang-lebih seperti ini: religiusitas berperan cukup massif dalam membangkitkan etos kerja. Adalah Dr. Laode Ida yang berpandangan sedikit berbeda dengan tesis tersebut. Menurutnya realitas sesunguuhnya yang terjadi di Lakudo tidak hanya semata-mata soal agama yang berpengaruh pada etos kerja. Tetapi kalau melihat secara cermat, justru kondisi geografis lah yang mempengaruhi etos kerja di daerah tersebut. Karena bagi dia, kondisi geografis yang tidak subur, tanah bebatuan, dan yang sejenisnya seperti terihat di daerah tersebut menuntut penduduk setempat mendorong mereka untuk mempunyai etos kerja yang kuat. Karena mereka dituntut untuk bisa bertahan (survive). “Di situlah survival of the fittest bermain” paparnya. “Sehingga mereka bekerja tidak hanya di lingkungan itu saja, melainkan sampai ke luar lingkungan itu. Tidak penting apa kerjanya, yang terpenting bagi mereka halal dan mereka bisa survive” lanjutnya.

Walaupun demikian, Laode mengapresiasi dengan terbitnya buku tersebut, dan menekankan bahwa seharusnya kearifan lokal yang berbasis keagamaan seperti ditulis di buku tersebut diangkat di dalam kajian sosiologi-ekonomi dan dijadikan model pembangunan ke depan. “Sehingga masyarakat bisa lebih maju secara ekonomi dengan mandiri. Karena kadangkala masyarakat miskin dan susah tidak mendapat perhatian dari pemerintah” timpalnya.

Sementara Abdul Hadi WM, dalam paparannya ia mengkritik buku tersebut. Pertama-tama ia memulai dengan pertanyaan: “Bagaimana agama bisa mempengaruhi etos kerja? Bagaimana tesis-tesis semacam itu bisa dibuktikan di lapangan?” ungkapnya. Karena bagi dia, fakta di lapangan dengan menilik sejarah masuk dan berkembangnya Islam di nusantara justru dipengaruhi oleh pelayaran-pelayaran yang dilakukan oleh masyarakat nusantara sendiri ke berbagai negara lain seperti India, Persia, London dan lain-lain. “Jadi, menurut sejarah sebetulnya yang menyebarkan Islam pertama kali di nusantara bukan orang-orang Arab itu, tapi masyarakat nusantara yang sebelumnya telah melakukan pelayaran ke negara-negara tersebut, lalu kembali ke nusantara dan menyebarkan Islam di nusantara ini” paparnya.

Kritik yang dipaparkan oleh Abdul Hadi ini betolak-belakang dengan apa yang ditulis oleh Lutfi Hakim dalam buku tersebut. Artinya bagi Abdul Hadi, pengaruh agama terhadap etos kerja sulit dibuktikan di lapangan, dan malah sebaliknya. Bukan agama yang mempengaruhi etos kerja, melainkan etos kerjalah yang mempengaruhi perkembangan agama. “Di Asia ada dua agama misionaris: Islam dan Buddha. Keduanya bisa berkembang karena etos kerja dan etos dagang. Sementara Katolik banyak disebarkan dengan sistem kolonialisme” timpalnya lagi.

Abdul Hadi menambahkan dan memperkuat pendapatnya tersebut dengan mengatakan bahwa pada zaman dahulu, masyarakat nusantara yang berdagang itu sambil lalu menyebarkan agama Islam. Sehingga yang diperoleh bukan hanya laba material, tetapi laba ukhrawi.

Selain mengkritik buku tersebut, dia juga memujinya. “Buku tersebut bagus, namun perlu lagi dielaborasi. Islam yang bagaimana yang benar-benar mempengaruhi etos kerja? Atau paling tidak, dia perlu menjelaskan bagaimana fungsi masjid atau mushalla (baca: Langgar—Jawa) yang bisa mempengaruhi etos kerja?” Sebab bagi dia, kalau melihat fungsi masjid di masa kejayaan Islam, bagi dia ada tiga pusat peradaban: istana, pasar dan masjid. Masjid bagi dia bukan hanya masjid sebagai tempat shalat, dzikir dan yang semacamnya. Tetapi masjid benar-benar menjadi pusat pendidikan dan kebudayaan. Di masjid itulah banyak orang belajar sastra, budaya, politik, ekonomi dan lain-lain. Baginya fungsi masjid tidak sesempit sekarang. “Jadi, masjid bukan hanya tempat pengajian fiqih-tayammum saja” paparnya (sontak audiens tertawa).

Pun juga pembicara yang terakhir, Dr. Fachry Ali. Ia juga mengkritik makna masjid dan pasar yang dipaparkan oleh Lutfi Hakim dalam buku tersebut yang dimaknai secara denotatif. Seperti halnya Laode dan Abdul Hadi, dia juga memknai masjid dan pasar secara konotatif (bukan makna sebenarnya). Pendapat Fachry Ali juga diamini oleh Prof. Dawam Raharjo. Bagi dia, masjid dan pasar tidak bermakna fisik an sich, tetapi lembaga. Dia juga mengkritik pendapat yang mengatakan bahwa masjid sekarang sudah mengalami penyempitan makna (seperti yang dipaparkan Abdul Hadi di muka), yaitu hanya sebatas tempat pengajian dan tempat shalat saja. Bagi Dawam tidak, dan tidak semua masjid di nusantara seperti itu. Karena bagi dia fungsi masjid tergantung dari yang menjalankan atau yang menggerakkannya. “Ada beberapa masjid yang dijadikan wahana pendidikan. Jadi tidak hanya fiqih saja, tapi ada kegiatan ekonomi juga” paparnya.

Di akhir paparannya, ia menyimpulkan bedah buku dan diskusi tersebut, bahwa ada gejala-gejala persekutuan antara masjid (agama) dan pasar (ekonomi), dan seharusnya hal itu dijadikan sebagai kekuatan civil society.Sekian.

About us

Universitas Paramadina berdiri pada 10 Januari 1998, mengemban misi untuk membina ilmu pengetahuan rekayasa dengan kesadaran akhlak mulia demi kebahagiaan bersama seluruh umat manusia.

Latest Posts

Hubungi Kami

Kampus Jakarta
Universitas Paramadina
Jl. Gatot Subroto Kav. 97
Mampang, Jakarta 12790
Indonesia
T. +62-21-7918-1188
T. 0815-918-1190

E-mail: info@paramadina.ac.id
http://www.paramadina.ac.id 

Kampus Cipayung
Jl. Raya Mabes Hankam Kav 9, 
Setu, Cipayung, Jakarta Timur 13880�
T. 0815-818-1186


Kampus Cikarang

District 2, Meikarta,
Cikarang
T. 0815-918-1192�