Iran di Mata Para Intelektual Indonesia

 

Oleh. Ach. Fadil

Akhir-akhir ini, kebanyakan publik Indonesia melihat Iran dari sisi ke-syi’ah-annya. Sehingga stigma negatif pun dimunculkan di ruang publik yang mayoritas menganut aliran Sunni atau ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah. Padahal kalau mau melihat secara cermat, membaca Iran tidak hanya soal Syi’ah, tapi banyak sekali yang harus dilihat dan dieksplorasi, dan mestinya harus dicontoh oleh publik nusantara ini, seperti kemajuan mereka dalam bidang sains, filsafat, sastra, dan lain sebagainya. Adanya stigma negatif yang melihat Iran hanya dari sisi kesyi’ahannya, menunjukkan kesempitan cara pandang publik kita.

Nah, untuk menjembatani kesenjangan itu, Rabu (12/03/14) prodi Falsafah dan Agama (FA) bekerja sama dengan Himpunan Mahasiswa Falsafah dan Agama (HIMAFA) Universitas Paramadina mengadakan seminar nasional dengan tema "Wajah Iran dalam Bingkai Penulis Indonesia" yang bertempat di Auditorium Nurcholish Majid.

Acara yang dimulai pada pukul 10.15 WIB ini, diawali dengan sambutan dari beberapa pihak, diantaranya dari pihak rektorat Universitas Paramadina yang diwakili oleh Totok Amien Sofiyanto; dilanjutkan dengan sambutan Kedubes Iran untuk Indonesia oleh Mahmoud Farazandeh; dan sambutan terakhir dari Konselor Budaya Kedubes Iran oleh Dr. Hujjatollah Ebrahimian.

Dalam sambutannya, Farazandeh menyampaikan pentingnya dialog antar Indonesia-Iran, terlebih ia menegaskan bahwa dialog antar Indonesia-Iran sudah berlangsung sejak lama, "sejak dahulu sudah ada apresiasi dari publik Indonesia mengenai pentingnya belajar bahasa Persia" tegasnya. Adalah Prof. Dr. Abdul Hadi WM yang ia sebut sebagai salah satu tokoh sastrawan dan budayawan Indonesia yang yang banyak bersentuhan dengan tradisi Iran (Persia secara umum), kita tahu beliau (Abdul Hadi) telah berhasil menerjamahkan salah satu karya sastra Persia “Matsnawi”—judul lengkapnya al-Matsnawi al-Maknawi—sebuah buku berupa antologi puisi karya sastrawan dan sufi fenomenal asal Persia, Maulana Jalaluddin Rumi.

Sementara itu Ebrahimian mengungkapkan, bahwa tujuan diselenggarakannya seminar nasional tersebut adalah bentuk apresiasi dai Iran untuk para intelektual yang ahli tentang ke-Iran-an. "Seminar ini merupakan salah satu bentuk apresiasi dari kami untuk para penulis Indonesia yang kompeten dan concern menulis tentang ke-Iran-an (Iranologi).

Seminar ini menghadirkan beberapa pembicara ahli yang memang concern dalam bidang ke-iraniologi. Beberapa diantara mereka banyak menulis buku tentang revolusi Iran, sastra Persia, dan lain-lain. Sebut saja pembicara yang hadir seperti Prof. Dr. Abdul Hadi WM, Dr. Husein Hariyanto, Dina Y. Sulaeman, Miftah Fauzi Rahmat, MA, M. Subhi Ibrahim, MA, Syafiq Basri Assegaff, dan penanggap A. Rifai Hasan, Ph. D.

Beberapa karya mereka bisa disebutkan seperti Matsnawi (karya terjemahan Abdul Hadi WM) yang jga telah disebut di muka, Ali Syariati: Sang Ideolog Revolusi Islam (Subhi Ibrahim), Revolusi Saintifik Iran dan Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam (Husein Hariyanto), A Note from Tehran, Doktor Cilik: Hafal dan Paham al-Qur’an, dan Bintang-bintang Penerus Doktor Cilik (Dina Y. Sulaeman), serta masih banyak karya-karya para penulis lain yang hadir pada seminar tersebut.

Adalah budayawan dan sastrawan Abdul Hadi WM yang mula-mula memulai paparannya dengan mengatakan bahwa ketertarikannya terhadap Iran salah satu diantaranya disebabkan kesenangan publik Iran yang suka sekali mematrikan masa lalu, masa kini dan masa depan menjadi satu-kesatuan yang utuh. “Mereka tidak melupakan masa lalu (karya-karya pendahulu mereka), dan juga mereka mengapresiasi masa kini (karya kontemporer) untuk kepentingan masa depan” tegasnya. Lalu ia mengkritik kebiasaan publik Indonesia yang akhir-khir ini mulai melupakan masa lalu dan hanya menyukai karya-karya kontemporer saja. “Di sana, orang-orang gemar membaca buku, tidak hanya komik seperti yang biasa publik Indonesia baca, tapi juga buku-buku filsafat, karya ilmiah, sains, dan sastra. Ini yang tidak di temukan di Indonesia” timpalnya.

Apa yang dipaparkan oleh Abdul Hadi juga diamini oleh salah satu pembicara lainnya, Husein Hariyanto. Menurutnya Iran yang merupakan kawasan Persia, adalah negara yang dalam sangat maju dalam bidang sains dan ilmu pengetahuan. “Kita tahu Persia banyak melahirkan intelektual-intelektual yang karyanya banyak dikonsumsi oleh publik Indonesia, sebut saja tokoh sekaliber al-Khawarizmi (matematikawan dan filsuf), Abu Rayhan al-Biruni (fisikawan dan filsuf), al-Ghazali (filsuf dan sufi). Bisa kita catat di sini beberapa karya yang mereka hasilkan adalah al-Jabar wal-Muqabalah, Ihya Ulumiddin, dan lain-lain” paparnya.

Husein juga mengkalim bahwa tujuan ia menulis beberapa buku mengenai Iran dan revolusi saintifiknya hanya ingin membanggun dan mengembangkan nalar saintifik Indonesia. “Kalaupun dalam buku saya—Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam—banyak ditemukan tokoh-tokoh intelektual dari Iran, itu memang faktanya” tegas dosen ICAS tersebut.

Lalu kemudian Husein melalui analisanya dengan memberi dua catatan tentang Iran: pertama, perkembangan sains yang sangat pesat di Iran telah mematahkan sekularisme yang mencoba memisahkan antara sains dari agama. “Sebelum revolusi 1979 yang menggulingkan rezim Syah Iran, Iran belum terlihat seperti sekarang, ia masih terbilang terbelakang. Tapi dalam kurun waktu 30 tahun, perkembangan sains pesat sekali, bahkan mengalahkan negara-negara besar. Ini fakta yang perlu dicatat. Sekularisasi dipatahkan dengan kenyataan ini. Agama dan sains terintegrasi menjadi satu-kesatuan yang utuh” kelakarnya. Kedua, perkembangan sains sejalan dengan perkembangan ilmu-ilmu agama, seperti filsafat, ilmu kalam, dan lain-lain.

Dua pembicara lain yang berbicara mengenai revolusi Islam Iran yang dipimpin oleh Ayatollah Imam Khomeini adalah Syafiq Basri Assegaff dan Subhi Ibrahim. Menurut Syafiq, salah satu yang menggerakkan publik Iran melakukan revolusi Islam pada waktu itu disebabkan Imam Khomeini mengirimkan kaset-kaset seruan revolusi kepada publiknya yang dia kirim dari Prancis. Sudut pandang lain digambarkan oleh Subhi Ibrahim, bahwa menurutnya memang Imam Khomeini lah yang menjadi pimpinan revolusi pada waktu itu. Tapi salah satu ideolog yang berada di belakangnya adalah Ali Syariati (ideolog semi-sekuler) dan Murtadha Mutahhari (ideolog agama). “Panorama intelektual Ali syariati dan Murtadha Mutahhari yang melatarbekalangi revolusi Islam Iran terbesar ke empat di dunia, mengalahkan revolusi Prancis, Amerika, dan China” ungkapnya.

Sementara Miftah Fauzi Rahmat yang datang terlambat sekilas memberi gambaran yang khas mengenai Iran. Baginya, yang khas dari Iran adalah ada dua hal: kecintaan publik Iran kepada para syuhada’ (orang yang mati syahid) dan kecintaan mereka pada ulama. “Ini yang tidak ditemukan di negara-negara lain” paparnya. Mengenai kecintaan orang-orang Iran pada syuhada ini, Miftah lalu mengutip salah satu kutipan revolusioner dari Murtadha Mutahhari: “Bangsa yang rusak sama dengan orang yang sakit parah. Dua-duanya membutuhkan transfusi darah—darah yang dimaksud adalah kesyahidan.”

Kalau beberapa pembicara memberikan pandangan dalam bidang revolusi, sains, dan sastra, adalah Dina Y. Sulaeman yang memberikan pandangan lain, ia memberikan pandangan bagaimana kedudukan perempuan di negeri para mullah tersebut. Penulis buku A Note from Tehran dan juga orang yang tinggal cukup lama di Iran ini memberi gambaran perempuan seperti ini, di Iran budaya patriarki bisa dibilang tidak ada. Kedudukan perempuan setara dengan laki-laki. Kasus yang dicontohkan olehnya adalah kasus mengenai ketentuan mahar ketika perempuan hendak kawin. “Di Iran, perempuan kalau mau menikah menentuka mahar yang sangat tinggi. Ini berbeda dengan Indonesia yang pada umumnya hanya cukup dengan seperangkat alat shalat. Karena bagi perempuan Iran, mahar yang tinggi itu sebagai jaminan. Jaminan dalam arti bahwa kalau laki-lakinya macam-macam, mau menceraikan misalnya, ia terlebih dahulu harus melunasi mahar perkawinan mereka dulu. Kalau tidak ia dipenjarakan. Ini yang tertuang dalam konstitusi Iran” paparnya. Perempuan menurutnya juga menduduki posisi yang sangat penting dalam sistem politik Iran. “Ini terbukti misalnya, perempuan itu beberapa kali disebut dalam Undang-undang Dasar Republik Iran” tambahnya.

Nah, melihat kemunduran Indonesia dalam berbagai bidang, harusnya Indonesia banyak mencontoh Iran, baik dalam revolusi saintifiknya, filsafat, sastra, dan bidang ilmu pengetahuan yang lain. Beberapa paparan yang disampaikan oleh para pembicara, hal itu menunjukkan bahwa Iran tidak hanya soal Syi’ah, tapi lebih dari itu ada peradaban yang sangat besar yang perlu dicontoh oleh negara-negara yang mayoritas berpenduduk muslim seperti Indonesia. ***

About us

Universitas Paramadina berdiri pada 10 Januari 1998, mengemban misi untuk membina ilmu pengetahuan rekayasa dengan kesadaran akhlak mulia demi kebahagiaan bersama seluruh umat manusia.

Latest Posts

Hubungi Kami

Kampus Jakarta
Universitas Paramadina
Jl. Gatot Subroto Kav. 97
Mampang, Jakarta 12790
Indonesia
T. +62-21-7918-1188
T. 0815-918-1190

E-mail: info@paramadina.ac.id
http://www.paramadina.ac.id 

Kampus Cipayung
Jl. Raya Mabes Hankam Kav 9, 
Setu, Cipayung, Jakarta Timur 13880�
T. 0815-818-1186


Kampus Cikarang

District 2, Meikarta,
Cikarang
T. 0815-918-1192�