Naskah Pidato Dr. Budhy Munawar-Rachman "Cak Nur: Setelah Islam Inklusif, Apa?"

Print

CAK NUR: SETELAH ISLAM INKLUSIF, APA? 

Oleh Budhy Munawar-Rachman

"... Sebaik-baik agama di sisi Allah ialah al-hanifìyat-u 'l-samhah ,  yakni bersemangat mencari kebenaran yang lapang, toleran, tanpa kefanatikan, dan tidak membelenggu jiwa ... [yaitu] suatu agama terbuka, atau cara penganutan agama yang toleran."

Nurcholish Madjid [1]

“Islam adalah agama kemanusiaan (fithrah) yang membuat cita-citanya sejajar dengan cita-cita kemanusiaan”
Nurcholish Madjid [2]

Seperti sudah kita ketahui, Nurcholish Madjid melakukan diskursus Islam Inklusif melalui pencarian “titik temu agama-agama” atau istilah filsafatnya, ”transcendent unity of religions.” Pencarian ini dilakukan dengan menggunakan metode filsafat perenial.[3] Walaupun harus dicatat bahwa Nurcholish mengikuti perspektif perenial tidak secara ketat, dalam arti seorang penganut setia atau seorang ”perenialis.” Nurcholish mengikuti perspektif filsafat perenial sejauh filsafat ini membantunya memahami perspektif Islam yang inklusif mengenai toleransi, anti-diskriminasi, dan titik temu agama-agama. Nurcholish menegaskan hal tersebut sebagai berikut:

"Sebagai sebuah pandangan keagamaan, pada dasarnya Islam bersifat inklusif dan merentangkan tafsirannya ke arah yang semakin pluralis. Sebagai contoh, filsafat perenial yang belakangan banyak dibicarakan dalam dialog antaragama di Indonesia merentangkan pandangan pluralis dengan mengatakan bahwa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan dari berbagai agama. Filsafat perenial juga membagi agama pada level esoterik (batin) dan eksoterik (lahir). Satu agama berbeda dengan agama lain dalam level eksoterik, tetapi relatif sama dalam level esoteriknya. Oleh karena itu ada istilah "Satu Tuhan Banyak Jalan." [4]

Secara etimologis, istilah filsafat perenial berasal dari istilah latin yakni: philosophia perennis yang arti harfiahnya adalah filsafat abadi, yang sama dengan sophia perennis, yaitu kebijaksanaan abadi, hikmah abadi atau dapat disebut dengan hakikat abadi.[5] Pendekatan filsafat perenial sekarang biasa dipakai dalam wacana filsafat berkaitan dengan studi agama-agama.[6] Agenda yang dibicarakannya adalah: pertama, tentang pertalian wujud yang absolut, sumber dari segala wujud Tuhan yang Mahabenar yang  adalah satu, dan hingga semua agama yang muncul dari Yang Satu pada prinsipnya sama karena dari sumber yang sama. Kedua, filsafat perenial ingin membahas fenomena pluralisme agama secara kritis dan kontemplatif. Meskipun agama yang benar hanya satu, tapi karena ia diturunkan pada manusia dalam spektrum historis dan sosiologis maka ia tampil dalam formatnya yang pluralistik. Karenanya setiap agama memiliki kesamaan dengan agama lain sekaligus memiliki kekhasan sehingga berbeda dari yang lain. Ketiga, filsafat perenial memberi perspektif untuk memahami religiusitas melalui analisis atas simbol, ritus serta pengalaman keagamaan.[7]

Bertolak dari pandangan tersebut, filsafat perenial berpandangan bahwa ”hakikat agama yang benar itu hanya satu.” [8]  Namun, karena agama muncul dalam ruang dan waktu secara tidak simultan, maka pluralitas dan partikularitas bentuk dan bahasa agama tidak bisa dielakkan dalam realitas sejarah. Dengan ungkapan lain, pesan kebenaran yang absolut itu, istilah Schuon, religio perennis (agama abadi) berpartisipasi dan bersimbiose dalam dialektika sejarah [9] yang dari sudut agama-agama, akan diperoleh melalui usaha pencarian titik temu (kalimat-un sawâ) agama-agama.[10]

Filsafat perenial dipengaruhi oleh nuansa spiritualitas agama-agama yang kental. Hal ini disebabkan oleh tema yang dikembangkannya yaitu hikmah keabadian (sophia perennis) yang hanya bermakna dan mempunyai kekuatan ketika ia dibicarakan oleh agama-agama.[11] Sehingga  tidak mengherankan baik di Barat dalam tradisi Yahudi, Kristiani, maupun Islam, lahirnya filsafat perenial adalah hasil telaah kritis para filsuf yang sufi (mistis), atau sufi (mistikus) yang filosof pada zamannya melalui pengalaman-pengalaman mistis, pengalaman metafisis kesatuan atau wahdat al-wujûd (kesatuan wujud) untuk menggambarkan perjalanan pendakian spiritual sebagai "penemuan kembali yang Suci" (rediscovery of the Sacred) [12] melalui sikap pasrah. ”Sikap pasrah kepada Tuhan [merupakan] unsur kemanusiaan yang alami dan sejati, kesatuan kenabian dan ajaran para nabi untuk semua umat dan bangsa, semua itu menjadi dasar universalisme ajaran yang benar dan tulus, yaitu al- islâm[13]

Dalam kaitannya dengan filsafat perenial ini doktrin tentang tauhid, tidak hanya menjadi pesan milik Islam saja, melainkan juga sebagai hati atau inti dari setiap agama. Pengertian islâm (dalam arti generik) di sini diterjemahkan dalam pengertian generiknya, yakni sikap pasrah kepada Tuhan, sebagaimana ini diungkapkan oleh Nurcholish, bahwa islâm, artinya pasrah sepenuhnya (kepada Allah), "sikap yang menjadi inti ajaran agama yang benar di sisi Allah" [14] (dari sudut filsafat perenial). Karena itu "semua agama yang benar di sebut islâm." [15] Tanpa sikap itu, suatu keyakinan keagamaan tidak memiliki kesejatian. Maka agama yang benar di sisi Tuhan Yang Mahaesa ialah sikap pasrah yang tulus kepada-Nya itu, yaitu dalam istilah al-Qur’an, yang sering dikatakan Nurcholish, adalah al-islâm [16] dan setiap bentuk penganutan keyakinan agama selain dari al-islâm dengan sendirinya tidak akan diterima oleh Allah.[17] Di sini kata al-islâm yang dipakai Nurcholish tidak mengacu pada agama sebagai sistem, tetapi agama sebagai sikap hidup.

“Jantung” atau inti “Islam” adalah ”keislaman hati” itu sendiri (frase Schuon the heart of religions is the religion of the heart; menjadi the heart of Islam is the islam of the heart)[18] yaitu kebajikan spiritual atau ihsan yang membuat manusia mampu “melihat Tuhan di mana-mana” (omnipresence) dan menjadi “mata, telinga, dan tangan Tuhan” di dunia ini.[19] Hati atau jantung “keimanan” atau agama adalah agama atau “keimanan” pada jantung atau hati manusia itu sendiri, ke mana semua bentuk eksternal diarahkan. Hati (the heart, jantung) adalah “takhta dari kebaikan dan kasih sayang tak berhingga”.[20] Di dalam keimanan hati itulah dapat ditemukan kebijaksanaan abadi atau sophia, yang memancar seperti mutiara yang berada persis di tengah-tengah setiap pesan Tuhan dalam berbagai agama.[21]

Karenanya, konsep tauhid dalam pandangan Islam bukan hanya terletak pada pengakuan adanya Tuhan Yang Mahaesa, tetapi lebih substansial dari itu, yaitu penerimaan dan respon cinta kasih dan kehendak Tuhan yang dialamatkan kepada manusia. Oleh karenanya dalam pandangan filsafat perenial, orang-orang suci terdahulu semisal Phytagoras, Plato, Plotinus adalah termasuk orang-orang yang bertauhid (muwahhidûn) karena telah mengekspresikan kebenaran yang menjadi inti semua agama (the heart of all religions).[22]

Pada agama-agama lain, secara esoteris, ide monoteisme-etis ini terdapat pada setiap tradisi pemikiran keagamaan. Paham monoteisme sendiri sudah dikenal sejak dahulu, sehingga ajaran monoteisme-etis yang didakwahkan oleh agama-agama semitik sesungguhnya bukanlah hal yang baru, melainkan mempertegas dan memperjelas kembali paham yang pernah tumbuh tetapi karena berbagai faktor lalu menjadi samar.[23] Dalam sejarahnya, manusia menyebut Tuhan Yang Mahaesa dan Mahamutlak itu dengan berbagai nama dan istilah, namun secara substansial beragam nama itu menunjuk kepada Dzat yang sama. Tuhan yang Satu disebut dalam banyak nama. Kalau dalam Islam dan Kristiani disebut Allah, dalam Hindu disebut Brahman, di Yahudi disebut Yahweh dan lain-lain. Begitu juga penyembahan terhadap-Nya oleh para pemeluk agama dilakukan dengan banyak cara.[24] Dengan demikian memahami Tuhan Yang Satu dan yang (sekaligus) bisa dengan cara memandang Yang Satu dalam yang banyak, atau memandang yang banyak dalam Yang Satu. Atau, dengan lain perkataan, Yang Satu dipandang sebagai yang banyak, dan yang banyak dipandang sebagai Yang satu. Frithjof Schuon—filsuf yang sekali-kali dirujuk Nurcholish ini— mengistilahkan pemahaman semacam ini dengan the One in the many. Atau bisa juga dibalik, the many in the One.[25]

Dalam konsep the One in the many bisa dipahami bahwa apapun nama agama itu selalu menghubungkan dengan substansinya, yaitu inti ajaran agama yang keberadaannya di balik bentuk formalnya. Kalau saja substansi agama bisa dibuat hirarkhi, maka substansi agama yang paling primordial hanyalah satu. Ia bersifat perenial, tidak terbatas karena ia merupakan pancaran dari Yang Mahamutlak. Dasar Ilahi dari segala eksistensi adalah Mahaabsolut yang spiritual. Yang Absolut ini adalah Tuhan.[26] Dia hanya dapat dicapai dengan cinta, tetapi tidak dapat dipikirkan.[27] Pengetahuan yang sejati hanya dapat diperoleh melalui hati, bukan pengetahuan Tuhan yang didefinisikan tetapi yang disaksikan.[28] Yang Absolut sering digambarkan sebagai, “Ibarat air, substansinya adalah satu tetapi bisa saja kehadirannya mengambil bentuk berupa lautan, uap, mendung, hujan, sungai, kolam, embun, dan lain-lain”.[29]

Lewat metode filsafat perenial ini sampai pada kesimpulan, yang dielaborasi oleh Nurcholish secara pemikiran Islam, bahwa agama adalah jalan menuju Tuhan. Tuhan telah menciptakan berbagai agama untuk kepentingan berbagai pemeluk, waktu dan negeri. Semua ajaran hanya merupakan berbagai jalan, tetapi suatu jalan sama sekali bukanlah sama dengan Tuhan itu sendiri. Sesungguhnya, seseorang akan mencapai Tuhan jika ia mengikuti jalan mana pun juga, dengan pengabdian diri yang sepenuh-penuhnya. Kita bisa memakan sepotong kue dengan lapisan gula, baik secara lurus maupun miring. Rasanya akan tetap enak, dengan lapisan apa pun juga. Sebagaimana zat yang satu dan sama, air, disebut dengan berbagai nama oleh berbagai bangsa, yang satu menyebutnya water, yang lain eau, yang ketiga aqua, yang lainnya lagi pani. Begitulah Kebahagian-Kecerdasan-Yang Mahaabadi itu disebut sebagian orang sebagai God, oleh sebagian lagi sebagai Allah, oleh yang lain sebagai Yehovah, dan oleh lainnya sebagai Brahman.[30]

Dalam kerangka inilah, Nurcholish Madjid, dipengaruhi Frithjof Schuon memberikan sumbangan pemikiran yang orisinal dalam memberikan penekanan (secara diametral) antara “eksoterisme” (wilayah pluralitas agama) dan “esoterisme” (wilayah jantungnya atau hati agama-agama). Setiap agama memiliki satu bentuk dan satu substansi. Bentuk agama adalah relatif, namun di dalamnya terkandung muatan substansial yang mutlak. Karena agama merupakan gabungan antara “substansi” dan “bentuk”, maka agama kemudian menjadi sesuatu yang absolut tetapi relatif (relatively absolute). Kesadaran adanya aspek substansi dan bentuk akan membuka banyak jalan alternatif menuju “jalan lurus”, tanpa mengingkari adanya orang yang memang mengingkari agama ataupun yang menyimpang dari jalan yang benar. Secara esoteris, atau dalam pengertian substansi, klaim atau pernyataan-pernyataan yang dibuat oleh suatu agama bersifat mutlak. Tetapi secara eksoterik, atau dalam pengertian bentuk, atau pada tingkat keberagamaan manusiawi, pernyataan-pernyataan tersebut mau tidak mau menjadi relatif dan historis.[31] Ini berimplikasi pada apa yang disebut dalam agama sebagai "kesalehan". Nurcholish misalnya menyebut,

"Kesalehan yang bertumpu kepada kesadaran hukum akan banyak berurusan dengan tingkah laku lahiriah manusia, dan hanya secara parsial saja berurusan dengan hal-hal batiniah. Dengan kata-kata lain ... lebih berat mengarah kepada eksoterisme, dengan kemungkinan mengabaikan esoterisme yang lebih mendalam." [32]

Penting kiranya dijelaskan lebih lanjut agar pemahaman terhadap konsep eksoterisme dan esoterisme Nurcholish Madjid ini bisa dimengerti. Walaupun dalam memahami kedua konsep tersebut (terkadang) dibutuhkan keseriusan mendalam. Pencarian pada Tuhan dan jalan menuju Dia (Tuhan) menjadi satu-satunya tujuan. Kadang-kadang itu harus dia lakukan dengan cara yang sangat berbahaya: yakni menyelami titik temunya dari seluruh agama dunia, memilah-milah tradisi untuk sampai pada yang masih murni, dan melompat melintasi perbedaan antaragama.

Hubungan antara eksoterisme dan esoterisme sama dengan hubungan antara “bentuk” dan “jiwa” yang terdapat dalam semua ungkapan simbolis. Hubungan ini pasti juga terdapat dalam esoterisme itu sendiri, dan dapat dikatakan bahwa hanya kaum rohaniawan yang dapat memahami tingkat Kebenaran yang murni dan utuh itu. “Jiwa”, yaitu isi supraformal dari “bentuk” yang berhubungan dengan “apa yang tertulis”, selalu memperlihatkan kecenderungan mendobrak batasan-batasan bentuknya. Karena itu, memberi kesan seolah-olah bertentangan dengan bentuk luarnya itu. Atas dasar inilah Nurcholish Madjid memandang perlu setiap penyesuaian kembali (readaptation) dari agama, dan karena itu adalah wahyu yang terus muncul pada sejarah agama-agama, sebagai suatu pemenuhan fungsi esoterisme dalam hubungannya dengan bentuk agama yang mendahuluinya.[33]

Nurcholish menegaskan bahwa,

"Kesatuan agama ... adalah karena semua berasal dari Allah. Jadi, sudah seharusnya kita menghormati keberadaan agama-agama itu tanpa membeda-bedakannya... perbedaan antar berbagai agama itu hanyalah dalam bentuk-bentuk jalan (syir‘ah atau syarī‘ah) dan cara (minhāj) menempuh jalan itu. Perbedaan tersebut hendaknya tidak menjadi halangan, tetapi menjadi pangkal berlombalomba menuju kebaikan." [34]

Menurut Nurcholish, di antara pelbagai konsepsi yang tidak dapat dipahami oleh eksoterisme, sekurang-kurangnya dalam hal-hal tertentu, yang paling penting adalah mengenai bertingkat-tingkatnya Realitas Universal. Realitas Universal menampakkan dirinya dalam tingkatan-tingkatan tanpa mengurangi hakikatnya sebagai “Satu” kesatuan yang utuh. Tingkat yang paling bawah terserap secara metafisik atau sintetis ke dalam tingkat lebih tinggi. Inilah ajaran tentang ilusi kosmis, yakni bahwa dunia ini bukan saja agak kurang sempurna atau bersifat sementara, melainkan dari itu tidak dapat disebut “ada” dalam kaitan dengan Realitas Absolut, karena realitas dunia ini akan membatasi Realitas Tuhan, Satu-satunya yang “Ada”. Lebih-lebih lagi, Ada itu Sendiri, yang tidak lain adalah Tuhan yang Personal, pada gilirannya dilampaui oleh Yang Mahaimpersonal dan Supra-Personal. Yaitu Non-Being di mana Tuhan yang Personal atau Ada hanya merupakan determinan pertama dari mana mengalirnya semua determinasi tambahan yang membentuk keberadaan kosmis. Tetapi eksoterisme tidak dapat mengakui baik mengenai tidak real-nya dunia ini maupun realitas khusus dari asas Ilahi, atau lebih-lebih lagi sifat adikodrati Non-Being dibandingkan dengan Ada atau Tuhan. Dengan kata lain, sudut pandangan eksoteris tidak dapat memahami sifat adikodrati impersonalitas Ilahi, yaitu Realitas Tertinggi yang menjadi nyata dalam Tuhan yang Personal. Berbagai kebenaran ini terlalu tinggi tarafnya, dan karena itu terlalu kabur dan rumit untuk dipahami dari segi pemahaman akal budi biasa. Demikian pula kebenaran terlalu sulit dipahami oleh orang kebanyakan atau untuk dirumuskan secara dogmatis. Di sini menarik, bahwa Nurcholish dengan pemikiran Islamnya secara populer mencoba masuk dalam kerumitan metafisika ini.

Dari pernyataan metafisik ini, dapat diketahui bahwa jalan kehidupan itu luas dan plural. Ia bukan sebagai tujuan, tetapi hanya sekedar “jalan” menuju Tuhan. Meskipun secara lahiriah, jalan itu amat beragam dan nampak sekali terjadinya perbedaan, bahkan pertentangan sekalipun, tetapi secara “esoteris”, “esensial”, atau “transenden”, bagi kaum perenialis, semua itu akan mencapai “kesatuan transendental (agama-agama) yang sama”. Dalam istilah Fritjof Schuon yang sangat elegan, "the transcendent unity of religions". Meskipun jalan yang ditempuh luas, beragam, sekaligus plural, tetapi semuanya (umat beragama) akan sama-sama “lurus” ke arah vertikal menuju Tuhan “Yang Mahaesa”, Yang Mahakudus. Perumusan ini menjadikan pendekatan filsafat perenial memasuki wilayah jantungnya agama-agama (the heart of religions), yang secara substantif hanya satu, tetapi terbungkus dalam bentuk (wadah, jalan) yang berbeda. “Ada Satu Tuhan, tapi banyak jalan,”. Pemahamannya yang mendalam pada simbol agama adalah esoterisme itu. Esoterisme murni bersemayam di setiap agama. Pandangan esoterismenya berdasar pada "ruhul qudus," yang sifatnya sempurna karena itu merupakan penglihatan intelek sejati, bersumber dari wahyu. Esoterisme, metafisika, sufisme memuaskan kebutuhan terhadap bakat intelektual-spiritual manusia. Maka perhatian metafisika tidak hanya pemikiran, melainkan juga seluruh keberadaan manusia, jauh melampaui filsafat dan agama dalam makna biasa kata tersebut.

Itulah sebabnya, bagi Nurcholish, titik temu agama-agama ini tidak berada pada jalur formal, kulit luar, eksoteris, fenomen, aksiden, dan seterusnya, sehingga yang tampak di permukaan adalah realitas pluralitas agama, seperti dipresentasikan oleh kehadiran agama-agama seperti Yahudi, Kristen, Islam, dan seterusnya itu. Tetapi, "titik temu agama-agama itu hanya mungkin terealisasi pada level esoteris, esensial atau transenden." [35] Sekadar ilustrasi agar lebih jelas, “Ibaratkan agama pada roda sepeda,”. ”Jari-jari sepeda itu semakin jauh dari ‘as’ (‘pusat’)-nya, maka akan semakin renggang.” Sebaliknya, semakin dekat ke ‘as’ (‘pusat’)-nya, maka akan semakin dekat, bahkan bersatu. Secara filosofis, bisa diungkapkan; “Barangsiapa hanya suka melihat perbedaan-perbedaan sebagai sesuatu yang sangat penting, maka ibaratkan orang di lingkaran itu, berada pada posisi pinggiran. Tetapi, barangsiapa telah mampu membuka tabir the heart of religions hingga mencapai  the religion of heart, maka semua agama (umat beragama) akan bertemu”.[36]

Demikianlah, filsafat perenial lahir oleh perpaduan antara filsafat sebagai sebuah metodologi berpikir, dan mistisisme sebagai spiritual experience yang penuh hikmah dan ketersingkapan. Dalam hikmat abadi—yang dalam terminologi bahasa Arab disebut al-hikmah al-athîqahmemberikan gambaran bahwa dimensi spiritual dalam agama adalah sesuatu yang sangat penting karena spiritualitas yang berdimensi pada empati dan kasih sayang adalah jantung agama, dan jantung agama adalah dimensi esoterik (qalb, batin) yang mencerminkan kasih sayang Tuhan, yang memungkinkan manusia meninggalkan sifat egoisme, kerakusan, kekerasan, ketidaksantunan dan merasa benar sendiri [37]—apa yang sekarang menjadi problem dalam keberagamaan yang bersifat fundamentalis dan radikal.

Nurcholish mengemukakan bahwa "manusia menurut fitrahnya adalah makhluk agama." [38] Sifat itu berpangkal dari naluri alamiahnya untuk menyembah atau mengabdi kepada suatu objek atau wujud yang dipandangnya lebih tinggi daripada dirinya sendiri atau menguasai dirinya. Dan naluri, seperti dikatakan Nurcholish, sesungguhnya merupakan penyaluran dari dorongan yang jauh dibawah sadarnya yang mendalam, yaitu dorongan gerak kembali kepada Tuhan akibat adanya "perjanjian primordial dengan penciptanya itu di alam ruhani." [39] Inilah hakikat filsafat perenial dalam pemikiran Nurcholish.

Karena dorongan itu tidak dapat dibendung, manusia akan mencari saluran di mana saja. Jika tidak tersalurkan dengan baik, dorongan itu akan muncul dalam bentuk-bentuk amalan dan praktik penyembahan yang merugikan diri manusia sendiri. Menurut rancangan Ilahi, manusia adalah puncak ciptaan Tuhan, makhluk yang paling mulia. Karenanya manusia janganlah sampai melakukan sesuatu yang mengurangi harkat dan martabatnya sebagai makhluk yang paling mulia itu, dengan tidak tunduk atau menyembah kepada apapun selain Allah, Tuhan yang Mahaesa saja.[40]

Salah satu saluran yang penting untuk mengapresiasikan dan mengamalkan segala bentuk penyembahan atau pengabdian atas wujud yang dirasa lebih dari diri manusia yaitu Tuhan sebagai tujuan dari filsafat perenial. Dalam Islam ini diwujudkan dalam tasawuf.[41] Tasawuf adalah praktek keagamaan yang penuh dimensi esoterik, hikmah-hikmah abadi agama hanya akan tersingkap melalui jalan ini. Sedangkan jalan syari’at adalah jalan yang penuh eksoterik (tampilan luar, formalitas, kulit) yang tidak akan pernah bisa menjangkau hikmah dan tujuan abadi agama, apalagi dalam fenomena ketersingkapan.[42]

Tasawuf perenial adalah "tasawuf yang ideal, tasawuf mistis, tasawuf yang benar-benar tasawuf, tasawuf sufi, tasawuf yang bersumber dari al-Qur’an dan sunnah, yaitu tasawuf sebagai jalan spiritual menuju Allah, berintikan akhlak mulia, mendekatkan manusia pada Allah, tetap setia pada syari’at, menekankan keseimbangan antara aspek-aspek lahiriah dan batiniah, material dan spiritual, duniawi dan ukhrawi, berpihak pada orang-orang lemah dan tertindas." [43]

Oleh karena itu dalam pandangan filsafat perenial, yang tertinggi adalah metafisika (ontologi). Sebab science sebagai ilmu pengetahuan menggunakan metode induktif yang bersifat analisa empiris kebenarannya terbatas, relatif atau kebenaran probabilitas. Tetapi filsafat dengan metode deduktif bersifat analogical analysis, kebenaran yang dihasilkannya bersifat self evidence universal, hakiki dan berjalan dengan hukum-hukum berpikir sendiri yang berpangkal pada hukum pertama, bahwa kesimpulannya bersifat mutlak asasi.

Perenialisme memandang masalah nilai berdasarkan asas-asas supernatural, yakni menerima universal yang abadi. Dengan asas seperti itu, tidak hanya ontologi dan epistemologi yang didasarkan atas prinsip teologi dan supernatural, melainkan juga aksiologi. Khususnya dalam tingkah laku manusia, maka menurut Nurcholish, "manusia sebagai subjek telah memiliki potensi-potensi kebaikan sesuai dengan kodratnya, di samping itu ada pula kecenderungan-kecenderungan dan dorongan-dorongan ke arah yang tidak baik."[44] Masalah nilai itu merupakan hal yang utama dalam perenialisme, karena ia berdasarkan pada asas-asas supernatural yaitu menerima universal yang abadi, khususnya tingkah laku manusia. Jadi hakikat manusia itu yang pertama-tama adalah pada jiwanya. Oleh karena itulah hakekat manusia itu juga menentukan hakikat perbuatan-perbuatannya, dan persoalan nilai adalah persoalan spiritual. Dalam aksiologi, prinsip pikiran itu bertahan dan tetap berlaku. Secara etika, tindakan itu ialah yang bersesuaian dengan sifat rasional seorang manusia, karena "manusia itu secara alamiah condong kepada kebaikan." Maka, seperti dikatakan Nurcholish,

"Perenialisme adalah ... keyakinan bahwa sesungguhnya manusia, di mana saja dan kapan saja, membawa dalam dirinya sejak dilahirkan, bahkan mungkin sejak sebelum itu, potensi kebaikan yang sama dan kemungkinan pencerahan yang sama. Potensi ini selalu ada secara abadi, maka disebut perenial. Dan atas dasar keyakinan tentang potensi perenial itu kita dapat sepenuhnya dibenarkan untuk berbicara mengenai adanya Kemanusiaan Semesta." [45]

            Melalui perspektif filsafat perenial, Nurcholish mendapatkan penjelasan mendalam mengenai "jalan agama" [46] yang secara tradisional sudah menjadi paham dasar, yang saya sebut sebut "Islam Inklusif" dari Nurcholish Madjid. Lewat Frithjof Schuon, Nurcholish sadar bahwa manusia modern sekarang ini semakin sulit menjalani jalan agama ini. Ini adalah kontradiksi besar manusia yang sudah dikemukakan oleh Frithjof Schuon,

"Frithjof Schuon (Muhammad Isa Nuruddin), seorang pemikir Islam dari Swiss, mengatakan bahwa kontradiksi besar manusia ialah bahwa ia menghendaki hal yang banyak tetapi enggan bersusah payah; ia menghendaki kenisbian menuju kepada kemutlakan, namun enggan menanggung penderitaan akibat tantangan-tantangan berat perjalanannya; ia menghendaki kebebasan tetapi menolak keterbatasan, seolah-olah kebebasan itu dapat terwujud tanpa pembatasan dan seakan-akan ada bidang datar yang luas yang terukur namun tanpa batas. Kata Schuon, “Keseluruhan peradaban modern dibangun atas kesalahan ini yang baginya menjelma sebagai sebuah sistem kepercayaan dan sebuah program.” [47]

Penutup

"Pada saat ini para pemeluk semua agama ditantang untuk dapat dengan konkret menggali ajaran-ajaran agamanya, dan mengemukakan paham toleransi yang otentik dan absah, sehingga toleransi bukan semata-mata persoalan prosedur pergaulan untuk kerukunan hidup, tapi--lebih mendasar dari itu--merupakan persoalan prinsip ajaran kebenaran"
Nurcholish Madjid [48]

 

            Dengan argumen di atas, Nurcholish menyimpulkan adanya konsep tentang titik temu agama-agama, yang disebutnya sebagai "kontinuitas agama-agama."

"Konsep Islam tentang kontinuitas agama-agama (agama Nabi Muhammad adalah kelanjutan agama para nabi sebelumnya, khususnya Nabi-nabi lbrahim, Isma’il, Ishaq, Ya‘qub atau Isra’il, Musa dan Isa— Yahudi dan Kristen), orang-orang Muslim menyimpan rasa dekat atau afinitas tertentu kepada mereka itu. Dan rasa dekat itu ikut melahirkan adanya sikap-sikap toleran, simpatik dan akomodatif terhadap mereka dan pikiran-pikiran mereka". [49]

            Sementara dîn atau inti agama itu sama, kepada setiap golongan dari kalangan umat manusia Allah, menurut Nurcholish, menetapkan syir`ah (atau syarî`ah, yakni, jalan) dan minhâj (cara) yang berbeda-beda, sebab Tuhan, menurut Nurcholish, tidak menghendaki umat manusia itu satu dan sama semua dalam segala hal. Tuhan menghendaki agar mereka saling berlomba-lomba menuju kepada berbagai kebaikan. Seluruh umat manusia akan kembali kepada Tuhan dan kelak Dialah yang akan membeberkan hakikat perbedaan antara manusia itu.[50]

"Tuhan adalah tunggal, kebenaran pun tunggal, dan kemanusiaan juga tunggal adanya. Itu semua secara tak terhindarkan mengharuskan adanya kerjasama antarmanusia atas dasar kebaikan dan tanggung jawab kepada Tuhan, dan bukan atas dasar dosa dan rasa permusuhan. Dan itulah inti pandangan hidup yang terbuka bagi masa depan, salah satu yang diperlukan manusia dalam menghadapi tantangan abad modern." [51]

Nurcholish juga menyebutkan bahwa untuk setiap umat telah ditetapkan Allah upacara-upacara keagamaan atau mansak (jamak: manâsik) mereka yang harus mereka laksanakan.[52] Berkaitan dengan ini menurut Nurcholish setiap golongan atau umat mempunyai wijhah (titik "orientasi", tempat mengarahkan diri), yang dilambangkan dalam konsep tentang tempat suci seperti Makkah dengan Masjid Haram dan Ka'bahnya untuk kaum Muslim. "Umat manusia," menurut Nurcholish, "tidak perlu mempersoalkan adanya wijhah untuk masing-masing golongan itu, dan yang penting ialah semuanya berlomba-lomba menuju berbagai kebaikan." [53] Di manapun manusia berada, Allah akan mengumpulkan semua mereka menjadi satu (jamî`an). [54]

Penjelasan tersebut bagi Nurcholish menegaskan prinsip-prinsip hubungan antaragama, yang menurutnya "menegaskan adanya pluralitas agama."[55] Pluralitas agama-agama itu ditegaskan secara etis dalam “berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan, koeksistensi damai, dan keadilan, serta perlakuan yang sama.” [56] Dan tentu saja melawan sikap diskriminasi

            Inilah menurut Nurcholish titik pusat ajaran pluralisme dalam Islamnya, yang oleh banyak kalangan dipandang sebagai sangat unik karena semangatnya yang serba mencakup dan meliputi agama-agama lain. Oleh karena ajaran yang all-inclusive itu, menurut Nurcholish, Islam "memerintahkan paham pluralisme kepada Nabi Muhammad s.a.w. dan melalui beliau kepada seluruh umat manusia." [57] "[P]luralisme sesungguhnya adalah sebuah Aturan Tuhan ( sunnat-u‘l-Lāh) yang tidak akan berubah, sehingga juga tidak [dapat] dilawan atau diingkari ... [I]slam adalah agama yang Kitab Sucinya dengan tegas mengakui hak agama-agama lain ... untuk hidup dan menjalankan ajaran masing-masing dengan penuh kesungguhan". [58] Islam menurut Nurcholish Madjid adalah agama yang menegaskan toleransi dan melawan segala bentuk diskriminasi.

            Menegaskan toleransi dan melawan segala bentuk diskriminasi” adalah gagasan yang bukan hanya teologi atau filsafat, tapi memerlukan praksis nyata. Bagaimana mewujudkan ini, memerlukan transformasi dari pemikiran Islam Inklusif dan teologi pluralis ke pemikiran dan praksis sosial, seperti inklusi sosial dan pluralisme sivik. Advokasi inklusi sosial dan pluralisme sivik perlu menjadi bagian dari kesadaran teologis Islam Inklusif kita. Hal ini belum dilakukan oleh Cak Nur, tapi peta jalannya sudah diberikan Cak Nur. ***

 *) Bahan Pidato Kebudayaan Fakultas Falsafah dan Peradaban Universitas Paramadina dalam rangka Dies Natalis ke-24.

Dr Budhy Munawar-Rachman adalah Wakil Ketua Yayasan Paramadina. Pendiri dan anggota Dewan Pembina Nurcholish Madjid Society (NCMS). Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (Sejak 2000 – sekarang). Sekarang sedang mengampu Kelas Kader Pemikiran Islam Indonesia LSAF, selama satu semester, sebuah kaderisasi pemikiran Islam Cak Nur yang diikuti oleh lebih dari 300 peserta dari seluruh Indonesia.


[1] Madjid 1998b: 254

[2] Madjid 2009: 33.

               [3] Salah satu bahan tentang perenialisme yang sangat mempengaruhi Nurcholish adalah Frithjof Schuon, The Transcendent Unity of Religions. Lihat, Schuon 1984. Nurcholish Madjid mulai menggunakan istilah filsafat perennial sebagai pendekatan pemikirannya sejak 1992 ketika ia mendampingi kunjungan Seyyed Hossein Nasr memberi perkuliahan mengenai filsafat perennial di Paramadina. Di sinilah ia melihat bahwa ide-idenya yang selama ini dikemukakan mengenai Islam inklusif lebih dekat pada filsafat perenial atau yang sering disebut “neo-tradisionalis” dari pada “neo-modernis” di mana ia selama ini menyebut pemikirannya. Pemikiran neo-tradisionalisme banyak dikemukakan oleh tokoh-tokoh filsafat perennial seperti Frithjof Schuon, Rene Guenon, Martin Lings, dan Seyyed Hossein Nasr. Sementara neo-modernisme adalah pemikiran Fazlur Rahman.

               [4] Madjid 1998c:  xix.

[5] Nasr 1994: 32.

               [6] Misalnya lihat, Kessler 1999: 554-555.

[7] Nasr dalam Whaling (ed) 1984: 181-200.

               [8] Madjid 2004: 60-61.

[9] Schuon, 2005: 119-120.

               [10] Madjid 2004: 61

               [11] Madjid 2002a: 32.

[12] Seyyed Hossein Nasr dalam bukunya, Knowledge & the Sacred, menggambarkan sejarah filsafat dan pemikiran modern berkaitan dengan the Rediscovery of the Sacred yang adalah the Revival of Tradition, istilah lain untuk filsafat perenial. Lihat,  Nasr 1981: 93. Ada istilah Goethe yang terkenal: "Mysticism is the heart of religion and the religion of the heart". Untuk istilah Goethe ini, Schuon mempunyai istilah "the Underlying Religion". Tentang konsep "the Underlying Religion" ini, lihat, Lings and Minnar 2007: xi-xxi.

[13] Madjid 1992: 438.

               [14] Madjid dalam Sirry 2006: 24.

               [15] Madjid dalam Sirry 2006: 25.

[16] Madjid 1992: 427. Nurcholish menyimpulkan dari Q. 3:19

[17] Madjid 1992: 428. Nurcholish menyimpulkan dari Q. 3:85.

               [18] Madjid 1987: 175.

               [19] Madjid 2002a: 26. Lihat juga Nasr 2003: 382.

               [20] Nasr 2003: 383.

[21] Ilustrasi ini bagi Nurcholish diaplikasikan ke dalam wacana pluralitas agama. Ibarat agama, yang secara substansial satu sebagai jantung dari setiap agama, tetapi menjadi beragam dan plural ketika diturunkan dalam “atmosfir bumi,” “alam eksoterik.” Tetapi, meskipun agama itu plural, semua (agama) itu pada dasarnya dapat membawa manusia ke Sumber Asalnya, yakni Tuhan. Lihat, Madjid 1995b: 191; Lihat, jugaNasr 2003: 383.

[22] Madjid 1992: 537. Lihat juga, Hidayat dan Nafis 1995: 4.

[23] Madjid 1992: 484. Lihat juga Hidayat dan Nafis 1995: 24-25.

[24] Madjid 1995a: 144. Lihat juga Noer dalam Assyaukanie 2002: 149.

[25] Lihat Hidayat dan Nafis 1995: 43

[26] Huxley 2001: 37.

[27] Kautsar Azhari Noer, ”Tuhan yang Diciptakan dan Tuhan yang Sebenarnya”, dalam Jurnal Paramadina Vol. I No. 1, Juli-Desember 1998, h. 143.

[28] Jalaluddin Rahmat, ”Tuhan yang Disaksikan Bukan Tuhan yang Didefinisikan” dalam Jurnal Paramadina Vol. I No. 1, Juli-Desember 1998, h. 152.

[29] Hidayat dan Nafis 1995: 53-54.

[30] Smith 1991: 102-103.

[31] Hidayat dan Nafis 1995: 55.

               [32] Madjid 1992: 257-258

[33] Madjid 2002a: 60. Bagi Nurcholish, dipengaruhi Frithjof Schuon, dari segi metafisik, hanya pada Tuhanlah—yang berada pada peringkat tertinggi—terdapat titik temu berbagai agama. Sedang di tingkat bawahnya, agama-agama itu saling berbeda. Sehubungan dengan realitas metafisik ini, dari segi epistemologis dapat pula dikatakan bahwa perbedaan antara agama yang satu dengan agama yang lain, semakin mengecil dan bersatu di tingkat tertinggi, sedangkan di tingkat bawahnya, berbagai agama itu terpecah belah. Pikiran tentang ini lihat, Madjid 2002a: 77. Bandingkan Schuon 2003: 77, 84.

[34] Madjid 2002a: 77-78.

[35] Madjid 2002a: 61.

[36] Madjid dalam Hidayat dan Gaus (ed.) 1998): xxxix.

[37] Madjid 1987: 174.

               [38] Madjid 1994: 232.

[39] Madjid dalam Rachman 2004: xv.

[40] Madjid dalam Rachman 2004: xvi.

               [41]  Sekedar catatan: Nurcholish memberi perhatian besar sekali dalam tulisan-tulisannya tentang dimensi tasawuf ini. Misalnya berkaitan dengan pluralisme dan tasawuf, ia menegaskan konsep yang akan dibicarakan di bawah, al-hanifìyat-u 'l-samhah. Lihat, Madjid 1995a: 151,155.

[42] Madjid 1997a: 176.

[43] Definisi tasawuf perenial yang menurut Kautsar Azhari Noer, lihat. Noer 2003: 13. Definisi ini sejalan dengan pikiran-pikiran Nurcholish tetang tasawuf yang banyak ditulis Nurcholish, misalnya, lihat, Madjid 1992: 252-268.

[44] Madjid 2002a: 87

[45] Madjid 1995a: 111

               [46] Konsep jalan ini dielaborasi secara mendalam oleh Nurcholish. "Mengapa agama disebut jalan? Karena agama harus dipahami secara dinamis, selalu bergerak menuju Tuhan. Karena itu pula agama ... tidak mengajarkan untuk mengetahui Tuhan, tapi mendekati Tuhan atau taqarrub ilā ‘l-Lāh. Selalu berusaha mendekat kepada Tuhan dalam suatu pengertian yang dinamis dan selalu bergerak". Madjid 1998b: 162. Pikiran Nurcholish ni diilhami Q. 4:97.

               [47]Madjid 1997c: 21. "The Whole of civilization is built on this error, wich has become for it on article of faith and a program."

               [48] Madjid 1999a: 66.

[49] Madjid 1992: 220.

               [50] Madjid 2002a: 77-78. Nurcholish menyimpulkan dari Q. 5:48.

               [51] Madjid 1987: 159.

               [52] Madjid 2002a: 77-78. Nurcholish menyimpulkan dari Q. 22:34 dan 68.

               [53] Madjid 2002a: 74.

               [54] Madjid 2002a: 75.

               [55] Madjid 2004a: 146.

               [56] Madjid 2004a: 146-147. Nurcholish menyimpulkan dari Q. 2: 148 dan 4: 48..

               [57] Madjid 2004b: 4. Nurcholish menyimpulkan dari Q. 6:90.

               [58] Madjid 1992: lxxvii-lxxviii

Joomla SEF URLs by Artio