Semut Pemimpin

Print

oleh : Dr. Rini Sudarmanti-Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi


Kita tentu sering melihat sejumlah semut mengerubungi sisa-sisa makanan lalu dibawa ke dalam sarangnya. Semut hanyalah binatang kecil yang dirasakan mengganggu. Setiap ada makanan tercecer, terutama yang mengandung gula, tentu semut akan selalu ditemukan berada di sana.

Namun, pernahkan Anda berpikir, mengapa semut itu dapat menentukan mana sisa makanan yang dapat bersama-sama diangkut dalam waktu singkat dan mana yang tidak? Mengapa semut dapat membedakan mana yang ia mampu panggul sendiri di bahunya dan mana yang dia tidak dapat panggul selain bersama-sama dengan teman-temannya?

Semut pun menganut prinsip-prinsip memimpin. Semut akan memilih untuk bekerja bersama-sama dan tidak mengutamakan individualismenya. Bila ia tidak mampu mengarahkan teman-temannya, tentu ia tidak akan pernah berhasil untuk mengangkut bongkahan besar sisa-sisa makanan yang akan disantap di dalam sarangnya.

 

Seni kepemimpinan semut

 

Pemimpin sulit memperoleh kesuksesan bila dilakukan tanpa memedulikan orang-orang yang dipimpinnya. Memimpin memerlukan kemampuan untuk mampu segera menentukan mana yang terbaik dilakukan untuk semua anggota kelompok, yaitu orang-orang yang menyandarkan dirinya pada kemampuan si pemimpin untuk mengatur kehidupan mereka. Menjadi pemimpin memerlukan kemampuan untuk merasakan "ruh" yang ada di dalam kelompoknya tersebut.

Ilmu pengetahuan mengajarkan bahwa binatang tidak memiliki otak untuk berlogika. Seekor semut pun kemungkinan besar tidak menggunakan logika untuk memimpin koloninya. Kita tidak dapat memastikannya, karena tentu saja manusia bukan semut.

Namun, bila dilihat dari perilakunya, seekor semut akan menyebarkan "ruh" kebersamaannya semut-semut lain yang berada dalam satu koloni dengannya. Anehnya dia tidak pernah salah membedakannya. Tidak pernah ada semut yang salah bekerja sama dengan semut dari koloni lain untuk mengangkut makanan.

Inilah yang patut kita contoh. Kita adalah manusia berakal yang mampu berlogika serta berpikir lebih kreatif dari seekor semut. Seorang manusia pemimpin seyogianya tidak hanya mengandalkan kemampuan berpikirnya saja, tetapi juga mampu menemukan "rasa bersama" "rasa" sepenanggungan, "rasa" saling memiliki, "rasa" empati dan sejuta "rasa" lainnya sehingga semua anggota yang dipimpinnya secara sukarela tergerak untuk melakukan kegiatan secara bersama.

 

Komunikasikan "rasa"

 

Memimpin bukanlah suatu hal yang tidak mungkin dilakukan. Semua manusia adalah pemimpin bagi dirinya sendiri. Memimpin memerlukan kecerdasan yang paling tinggi yaitu intuitif atau menggunakan kecerdasan hati.

Namun sebelum memimpin orang lain, dia akan dituntut terlebih dahulu untuk memimpin dirinya sendiri. Sejauh mana dia mampu memimpin dirinya akan tecermin dari bagaimana dia mampu mengarahkan dirinya untuk mencapai tujuan harapannya.

Pancaran kepemimpinannya ini akan dirasakan oleh sekitarnya sehingga akan menggerakkan perasaan orang lain untuk bersama-sama mencapai tujuan bersama.

Namun, perlu digarisbawahi terlebih dahulu bahwa "rasa" berbeda dengan "emosi". Kata emosi berasal dari bahasa latin emovere yang artinya setara dengan to move. Sesuatu yang mendorong kita untuk melakukan sesuatu. Perasaan tidaklah sama dengan rasa.

Jensen menjelaskan dalam bukunya Brain Based Learning (Jensen; 2000,202) bahwa emosi merupakan hal yang secara biologis telah ada dalam diri kita sebagai reaksi dari hubungan manusia antarbudaya atau hubungan sosial antar manusia.

Emosi terjadi lebih disebabkan oleh hubungan antarmanusia. Tipikal emosi antara lain gembira, takut, jijik, marah, kesal, dan sedih. Yang namanya emosi memang biasanya timbul dari hasil penangkapan indrawi manusia.

Melihat catatan demi catatan prestasi perolehan laba yang diperoleh suatu divisi yang ditampilkan secara jelas dan lengkap, tentu sangat menggembirakan. Kegembiraan yang meluap-luap ditumpahkan dalam teriakan-teriakan kesuksesan.

Seorang pemimpin yang baik akan sensitif untuk menangkap sinyal bahwa akan ada perasaan yang mengikuti emosi tersebut. Perasaan setia atau loyal karyawan karena keberhasilannya diapresiasi terhadap lembaga tentu akan timbul sebagai reaksi dari kebanggaannya.

Namun, kepekaan perlu diperlebar dengan menangkap sinyal-sinyal perasaan lain yang mungkin terjadi sebagai reaksi terhadap situasi dan kondisi tersebut seperti cemas, antipati, frustasi, sinis, dan optimistis atau seperti insting.

Kita dapat merasakan kecemasan, optimistis ataupun pesimisme yang dialami orang lain sebagai kesimpulan dari interpretasi kita tentang suatu keadaan. Suatu keberhasilan penjualan yang diperoleh oleh seorang anggota divisi marketing dapat saja menimbulkan perasaan iri, sinisme dari anggota lainnya yang belum mampu mencapainya.

Sinisme terhadap insentif yang diberikan atas prestasi yang diperoleh menuai pergunjingan yang diinterpretasikan kurang mengenakkan. Perasaan cemas timbul sebagai akibat tidak memperoleh reward sebagaimana yang dicapai orang lain.

Persoalan emosi dan perasaan ini menjadi penting untuk dipertimbangkan dan diantisipasi karena akan memengaruhi "perasaan bersama" yang semestinya dibangun dalam suatu kelompok seperti halnya keluarga koloni semut.

Manakah yang harus terlebih dahulu diutamakan ketika memimpin? Perasaan ataukah emosi? Tampaknya sulit untuk dibedakan karena keduanya saling mengisi dan tak terpisahkan. Namun, yang terpenting di sini adalah bagaimana seorang pemimpin mampu mengomunikasikan perasaan dan emosinya itu. Kepemimpinan tidak mungkin terjadi tanpa komunikasi efektif.

Setiap jenis kepemimpinan akan selalu bergantung pada kekuatan komunikasi. Seorang pemimpin menyampaikan visi, insipirasi, dan memotivasi bawahannya menuju tujuan harapan yang ditetapkan tidak mungkin terjadi tanpa komunikasi.

Para pemimpin perlu membangun iklim komunikasi terbuka, mendengarkan secara aktif, mampu menangkap apa yang ada di balik pesan, melakukan dialog, memfasilitasi, dan melakukan percakapan strategis untuk menggerakkan orang-orang yang dipimpinnya agar mampu bekerja dengan lebih baik lagi melalui gerakan solidaritas "rasa bersama".

Seorang pemimpin, menghendaki adanya kemampuan untuk mengonstruksi dan mempertahankan keteraturan dan ketertiban sosial. Seorang pemimpin hendaknya dapat mengetahui dan memahami lingkungan sekaligus menginterpretasinya.

Pengalaman juga memegang peranan penting di sini. Kepemimpinan terbentuk seperti spiral of experience. Memimpin berawal dari bagaimana dia mampu mempersepsi apa yang diindranya melalui observasi.

Kemudian dari apa yang diindranya ini, ia merefleksikan dalam persepsinya sehingga menentukan tindakan yang diambil. Refleksi dari keberhasilan tindakan yang dilakukan menjadi dasar pengalaman untuk pengambilan tindakan atau keputusan-keputusan selanjutnya.

Semakin sering kita melatihnya maka kemampuan kepemimpinan kita akan semakin terasah. Untuk itu diperlukan pengerahan seperangkat semua kemampuan yang Tuhan berikan untuk kita.

Semakin pandai memimpin semakin banyak hal yang dapat kita raih dalam kehidupan. Seperti semut, meskipun dia melaju sendirian mendekati objek sisa makanan yang cukup besar, dia tetap berhasil mengumpulkan sisa-sisa makanan yang tidak mungkin diusungnya sendiri dengan memanggil dan mengerahkan koloninya untuk bersama-sama bekerja bergotong royong mengangkutnya.

Suatu beban pekerjaan yang berat, dengan kemampuannya memimpin, dia tetap akan mampu mengerahkan sumber daya yang ada untuk mencapai harapan dan tujuan demi kepentingan bersama.

Artikel ini dimuat pada Edisi Minggu Bisnis Indonesia, Edisi 148-1 November 2009-
URL: http://web.bisnis.com/kolom/2id2617.html
Joomla SEF URLs by Artio