“Cross Cultural Fertilization: Sebuah Strategi Kebudayaan”

Indonesia adalah bangsa yang unik, karena selain terdiri dari banyak suku dan bahasa ia juga merangkum berbagai kebudayaan yang tumbuh di dalamnya. Tercatat sekitar 300 bahasa daerah yang dijadikan media komunikasi antar penduduknya. Meskipun begitu, bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional yang dapat dijadikan sebagai media komunikasi antara suku dan bangsa yang ada di dalamnya. Secara geografis, wilayah Indonesia terbentang dari Aceh sampai Papua yang jika dicarikan analoginya persis dengan jarak wilayah antara Iran sampai Perancis. Suatu wilayah yang sangat luas dengan berbagai ragam budaya yang beraneka warna.

Ignas Kleden (1987) menyimpulkan bahwa kebudayaan Indonesia memiliki keunikan tersendiri. Kebudayaan Indonesia dapat dikatakan sebagai salah satu anggota dari kebudayaan-kebudayaan dunia, namun sekaligus merupakan suatu kebudayaan yang khas, dengan kekhususan sendiri, yang tidak selalu didapatkan padanannya dalam kebudayaan lain. Meski Indonesia memiliki kebudayaan khusus, sebagamana ditekankan oleh Kleden, namun kebudayaan khusus tersebut belum benar-benar menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang tangguh dengan segenap pencapaian dan prestasi yang membanggakan. Sebut saja misalnya dalam persoalan pendidikan, sampai saat ini meski sarjana lulusan perguruan tinggi kian bertambah, namun tetap saja pengangguran terjadi di mana-mana, bukan karena tidak ada lapangan pekerjaan, melainkan karena pendidikan yang mereka ikuti tidak tepat guna (link and match) dengan kebutuhan dunia kerja. Lulusan yang banyak itu tidak memiliki keahlian khusus sehingga terputus dari kebutuuhan nyata di masyarakat.

St. Sularto dalam buku Syukur Tiada Akhir: Jejak Langkah Jakob Oetama (2011) mengelaborasi dengan sangat menarik hasil penelitian Universitas Harvard pada tahun 1999 yang kemudian dibukukan dan disunting oleh Lawrence E. Harrison dan Samuel P. Huntington dengan judul Culture Matters: How Values Shape Human Progress. Dalam buku ini, Huntington menekankan bahwa kebudayaan memiliki peran sangat signifikan dalam memajukan atau menurunkan kualitas hidup suatu bangsa. Ia mencontohkan bagaimana Korea Selatan yang memiliki budaya hemat, rajin menabung, serta kerja keras, dapat meloncat jauh meninggalkan Ghana yang memiliki budaya malas-malasan, boros dan tidak rajin menabung, sedangkan pada tahun 1960-an keduanya masih berada dalam kondisi ekonomi yang serupa.

Mengetahui bahwa budaya berpengaruh signifikan bagi kemajuan sebuah bangsa, maka satu persoalan dapat diajukan. Mengapa kebudayaan khusus yang dimiliki Indonesia, seperti dikatakan Kleden, tidak mendorong kemajuan bangsa Indonesia sendiri? Apa dan bagaimana sesungguhnya kebudayaan Indonesia? Sampai sejauh mana sebenarnya faktor-faktor budaya membentuk perkembangan ekonomi dan politik Indonesia? Jika budaya memang memiliki andil, lantas bagaimana hambatan budaya terhadap perkembangan ekonomi dan politik dapat dihilangkan atau diubah guna memfasilitasi kemajuan?

Yayasan Nabil yang dimotori oleh Drs. Eddie Lembong mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis tersebut dengan berusaha mempopulerkan konsep “Cross Cultural Fertilization” yang artinya bahwa untuk memajukan Indonesia kita harus dapat melakukan “penyerbukan silang budaya” yang ada di Indonesia sendiri (lihat detilnya dalam biografinya yang ditulis Bonnie Triyana, 2011). Jadi saripati-saripati budaya yang berkualitas dan memiliki nilai dorong kemajuan dapat diserbukkan dengan nilai-nilai budaya lain yang terdapat di bumi Indonesia ini. Diharapkan dengan “penyerbukan silang budaya” tersebut, Indonesia akan tampil menjadi bangsa besar yang disegani oleh bangsa-bangsa lainnya.

Untuk mewujudkan harapan tersebut, Nabil Society, satu unit organisasi yang berada di bawah naungan Yayasan Nabil, bermaksud menyelenggarakan rangkaian program “Kebangkitan Budaya Kemajuan Bangsa” untuk periode 2012. Berbagai kegiatan akan dilaksanakan guna mensukseskan program ini, mulai dari seminar, riset, diskusi dan lain-lain.

Mengawali program tadi, pada hari Selasa, 28 Februari 2012, pukul 09.30 – 12.00, Nabil Society mengadakan seminar publik dengan mengangkat tema “Cross Cultural Fertilization: Sebuah Strategi Kebudayaan”. Dalam seminar tersebut, kami akan mengundang para pakar seperti (1) St. Sularto (Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas), yang juga sebagai Keynote Speakerakan berbicara seputar Cross Cultural Fertilization dalam Konteks Perubahan Budaya Indonesia Saat ini”, (2) Prof Dr Taufik Abdullah (Sejarawan Senior LIPI)mengenai Cross Cultural Fertilization dalam Lintasan Sejarah Kebudayaan Indonesia dan Nirwan Ahmad Arsuka(Budayawan/Freedom Institute) yang akan berbicara tentang “Cross Cultural Fertilization Sebagai Rekayasa Strategis Masa Depan Kebudayaan Indonesia”. Acara ini dimoderatori oleh Aan Rukmana, dosen Falsafah dan Agama Universitas Paramadina.

Sebuah harapan lahir dari seminar ini sebagaimana disampaikan Radhar Panca Dahana (2012), bahwa kekuatan kebudayaan – bahkan peradaban – sudah semestinya menjadi acuan bagi tumbuhnya budaya hukum, politik, ekonomi, bahkan lebih dari itu, kebudayaan dapat menjadi arsenal utama kita pada saat berbicara atau mengambil peranan secara global. Semoga saja mimpi tersebut dapat terwujud lewat usaha kecil kami dalam menyelenggarakan seminar ini.

About us

Universitas Paramadina berdiri pada 10 Januari 1998, mengemban misi untuk membina ilmu pengetahuan rekayasa dengan kesadaran akhlak mulia demi kebahagiaan bersama seluruh umat manusia.

Latest Posts

Hubungi Kami

Kampus Jakarta
Universitas Paramadina
Jl. Gatot Subroto Kav. 97
Mampang, Jakarta 12790
Indonesia
T. +62-21-7918-1188
T. 0815-918-1190

E-mail: [email protected]
http://www.paramadina.ac.id 

Kampus Cipayung
Jl. Raya Mabes Hankam Kav 9, 
Setu, Cipayung, Jakarta Timur 13880�
T. 0815-818-1186


Kampus Cikarang

District 2, Meikarta,
Cikarang
T. 0815-918-1192�