Puasa dan Tidur

Oleh: Zainul Maarif

 

Di bulan Ramadan, para agamawan Islam mempersuasi umat Islam secara khusus dan umat manusia secara umum dengan hal-hal yang menunjukkan keutamaan puasa. Salah satu bentuk bujukan itu adalah pernyataan tentang dahsyatnya puasa. “Tidurnya orang puasa saja ibadah," demikian rayuan itu. "Apalagi ibadahnya."

Target maksimal ujaran itu adalah para pendengar memanfaatkan momen puasa untuk meningkatkan amal ibadah. Namun, acap kali target minimal yang dicapai, yaitu ada pendengar yang justru lebih banyak tidur karena meyakininya sebagai sebentuk ibadah di dalam fase puasa. Tak jarang ditemukan orang berpuasa yang sepanjang puasa menjalani lirik lagu Mbah Surip,“Bangun tidur, tidur lagi. Bangun tidur, tidur lagi. Banguun! Tidur lagi.”

Melihat fenomena itu, ada baiknya kita meninjau ulang referensi pernyataan,"Naum ash-shâim 'ibâdah.” (Tidurnya orang puasa itu ibadah). Di kitab At-Targhîb fî Fadlâil Al-A'mâl wa Tsawâb Dzâlika (Beirut: Dâr Al-Kutub Al-'Ilmiyyah, 2004, hlm. 53) karya Ibn Syahin, pernyataan tersebut dikategorikan sebagai hadis nabi. Abu Naim aA-Isfahani di buku Huliyat Al-Auliyâ’ wa Thabaqât Al-Ashfiyâ’ (Cairo: As-Sa'âdah, 1974, vol. 5, hlm. 83) juga menyebutnya sebagai hadis nabi. Posisi kalimat tersebut sebagai hadis nabi juga dapat dilacak, antara lain di kitab Yahya Asy-Syajari, Tartîb Al-Amâlî Al-Khamîsiyyah (Beirut: Dâr Al-Kutub Al-'Ilmiyyah, 2001, vol. 1, hlm. 373) dan di kitab Ahmad Abu Bakar Al-Baihaqi, Sya'b Al-Îmân (Bombay: Dâr as-Salafiyyah, 2003, vol. 5, hlm. 422).

Di kitab terakhir tersebut, redaksi kalimat yang disinyalir hadis nabi itu dapat diterjemahkan sebagai berikut: “Abu Abdillah Al-Hafizh mengabari kami (akhbaranâ), Ali ibn Isa mengabari kami, Ali ibn Muhammad ibn Al-Ala’ menyampaikan hadis kepada kami (hadatsanâ), Sikhtawaihi ibn Maziyad menyampaikan hadis kepada kami, Ma'ruf ibn Hassan menyampaikan hadis kepada kami, Ziyad Al-A'lam menyampaikan hadis kepada kami, dari ('an) Abdul Malik ibn 'Umair, dari Abdullah ibn Abi Aufa Al-Aslami yang berkata, Rasulullah saw. bersabda,‘Tidurnya orang puasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, doanya dikabulkan, dan pahala tindakan baiknya dilipatgandakan’.” Namun, di akhir kalimat tersebut, Al-Baihaqi mengatakan,“Ma'ruf ibn Hassan adalah rawi yang lemah (dla'îf)."

Karena salah seorang sumber riwayat ungkapan itu dianggap kurang (untuk tidak mengatakan “tidak”) kredibel sebagai rawi hadis, maka kita layak untuk meragukannya sebagai perkataan Nabi. Tetapi, bagaimana jika ungkapan yang bisa disebut sebagai hadîs dla'îf itu dijadikan sebagai acuan untuk melakukan tindakan terpuji (fadlâil al-a'mâl) sebagaimana dicatat oleh Ibn Syahin tersebut?

Untuk menjawab pertanyaan terakhir, kita dapat merujuk ke kitab Abu Hamid Al-Ghazali, Ihyâ’ 'Ulumiddîn (Beirut: Dâr al-Fikr, 1995, vol. 1, hlm. 298) yang mengatakan,“Salah satu adab (berpuasa) adalah untuk tidak banyak tidur di siang hari, supaya dapat merasakan lapar, dahaga dan melemahnya kekuatan, sehingga hatinya saat itu pula menjadi bersih, dan setiap malam masih terasa sisa-sisa kelemahan tersebut. Imbasnya, tahajud dan wirid terasa ringan baginya. Semoga setan tidak bersemayam di hatinya, dan matanya pun mampu melihat kerajaan langit.” Wejangan Hujjatul Islam tersebut justru menganjurkan orang puasa untuk tidak banyak tidur. Tetap terjaga ketika berpuasa merupakan tindakan yang lebih terpuji daripada terlelap, menurut Imam Al-Ghazali.

Mengingat terjaga itu baik untuk melakukan tindakan terpuji, namun tidur juga bisa lebih baik daripada terjaga dalam kemaksiatan, maka kebaikan dan keburukan terjaga atau tertidur ketika berpuasa, menurut penulis, bersifat kondisional.

Sebaiknya kita terjaga untuk melakukan kebaikan dalam puasa. Namun, sekiranya kita tidak dapat mencegah diri dari keburukan ketika terjaga, maka sebaiknya kita tidur. Hal itu selaras dengan doa yang artinya,“Ya Allah! Jadikanlah hidup sebagai tambahan bagi kami dalam kebaikan, dan jadikanlah kematian sebagai istirahat kami dari segala keburukan!” 

 

Penulis adalah dosen falsafah dan agama Universitas Paramadina Jakarta dan Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PWNU DKI Jakarta.

sumber:

http://www.beritasatu.com/ramadan/434840-puasa-dan-tidur.html

About us

Universitas Paramadina berdiri pada 10 Januari 1998, mengemban misi untuk membina ilmu pengetahuan rekayasa dengan kesadaran akhlak mulia demi kebahagiaan bersama seluruh umat manusia.

Latest Posts

Hubungi Kami

Kampus Jakarta
Universitas Paramadina
Jl. Gatot Subroto Kav. 97
Mampang, Jakarta 12790
Indonesia
T. +62-21-7918-1188
T. 0815-918-1190

E-mail: info@paramadina.ac.id
http://www.paramadina.ac.id 

Kampus Cipayung
Jl. Raya Mabes Hankam Kav 9, 
Setu, Cipayung, Jakarta Timur 13880�
T. 0815-818-1186


Kampus Cikarang

District 2, Meikarta,
Cikarang
T. 0815-918-1192�