ejumlah diplomat dan tokoh politik dan ekonomi bicara tentang Indonesia di mata mereka. Sebuah kegiatan pembentukan jejaring (networking) di kampus pascasarjana Paramadina.
Jakarta, 24 Juni 2010). Ada yang tidak biasa Kamis malam 24 Juni tadi. Sejumlah duta besar beberapa negara kumpul bersama. Tampak Duta besar Amerika, Cameron R.Hume, yang tidak lama lagi akan mengakhiri tugasnya di Indonesia; Dubes Persatuan Eropa (European Union) Julian Wilson; dan Charge d'affairs (ad interim) Chile Ms.Fernanda Vila. Mau nonton bola bareng, Ambassadors?
Ternyata bukan. Meski diskusi mengenai Piala Dunia mewarnai acara malam itu, para dubes itu hadir dalam acara ‘Ambassadors Night’ yang digagas program pascasarjana Paramadina di kampus Paramadina Graduate School (PGS), gedung The Energy, kawasan SCBD (http://gradschool.paramadina.ac.id/ ).
Menurut Rektor Paramadina Anies Baswedan, acara ini dimaksudkan untuk mempertemukan para diplomat ‘state’ dan ‘non-state’ dari berbagai kalangan usia, karena diplomasi bukan lagi terbatas sebagai domain kegiatan negara, apalagi Kementerian Luar Negeri. “Siapapun yang punya jejaring regional maupun global perlu paham tentang cara-cara berdiplomasi dan bagaimana negara kita dipandang oleh negara lain,” kata Anies. Menurutnya, pertemuan informal semacam ini diharapkan bisa mendekatkan para pelaku diplomasi, sekaligus memberi peluang berbagi pengalaman, yang nantinya bisa membantu menciptakan inovasi pendekatan baru dalam berdiplomasi.
Selain membahas topik “Indonesia di mata mereka”, para diplomat dan 150-an hadirin asyik berdiskusi dan ngobrol bersama teman lama dan kenalan baru mereka. Muncul pendapat, dan tanya jawab informal yang penuh warna. Juga saran dan cerita ringan yang menarik. Dubes Cameron Hume, misalnya, bercerita bahwa suatu ketika saat ia minum kopi di Starsbuck di Seattle, AS, ia diberi tahu bahwa kopi terbaik yang dipakai Starsbuck justru datang dari Sumatera Utara. Ia kaget, karena sebelumnya tidak menyangka hal itu. ”Barangkali Indonesia bisa lebih mempromosikan kopi Sumatera Utara ini,” kata Hume. Sebelum Hume, Julian Wilson juga bercerita bahwa salah satu komponen penting di salah satu jenis pesawat Airbus adalah buatan Indonesia. Dan itu artinya sebuah prestasi bangsa Indonesia yang patut diacungi jempol.
Sejumlah tokoh ikut menghangatkan suasana malam di lantai 22 gedung canggih itu. Di antaranya tampak boss Medco Group Arifin Panigoro, dan mantan anggota DPR dari PAN Abdillah Toha. Selain itu, tampak juga diplomat muda dari Kementerian Luar Negeri, serta diplomat kawakan Indonesia Makarim Wibisono yang juga dosen di Paramadina, serta sejumlah pimpinan redaksi media ternama di Jakarta.
Paramadina Graduate School (PGS) menawarkan lima program studi, masing-masing adalah Strategic Finance, Bisnis Keuangan Islam, Diplomacy, Komunikasi Politik, dan Komunikasi Korporat. Sebagaimana dua semester sebelumnya, semester ini PGS juga membuka peluang beasiswa bagi 10 wartawan dan aktifis LSM. Untuk kuliah yang akan dimulai September mendatang, tenggat pendaftaran adalah 15 Juli 2010.
Saat ini terdapat 25 wartawan dan aktivis LSM tengah menyelesaikan studi pascasarjana PGS ini. Para wartawan di antaranya berasal dari Kantor Berita Antara, harian Republika, Seputar Indonesia, Pikiran Rakyat, Bisnis Indonesia, Detik.Com, majalah Nirmala, dan Metro TV. September ini enam di antara mereka memasuki semester terakhir dan 19 lainnya menginjak semester kedua. Sumber dana fellowship di PGS ini datang dari Indika Energy Foundation dan Medco Foundation – dua lembaga nasional yang peduli pada kemajuan pendidikan di Indonesia.
