23 Wakil Universitas se-Indonesia Bicarakan Korupsi & Integritas.

Jangan bicara berantas korupsi bila tidak ada integritas di sebuah negara. Guru besar Public Policy, John F. Kennedy School of Government Harvard University Robert Klitgaard mengatakan bahwa,

korupsi lebih banyak terjadi di tempat yang tidak demokratis dan tidak menyelenggarakan tata-kelola pemerintahan yang baik secara luas. Selain itu, ”Korupsi biasanya marak di negara yang pers-nya tidak bebas, di mana peran pemerintah dalam ekonomi demikian luas, di tempat perang dan kegawatdaruratan (emergensi), di mana pegawai sipil dibayar rendah dan kurang berkualitas, di mana sector swasta kurang berperan dan monopolistic, dan di mana aturan-aturan perekonomian tidak jelas,” kata Klitgaard.

Klitgaard bicara mengenai korupsi dan integritas dalam Workshop Koordinasi Nasional Jaringan Pendidikan Integritas Masyarakat (Public Integrity Education Network Indonesia atau PIEN) yang diselenggarakan Universitas Paramadina bekerjasama dengan TIRI-Making Integrity Work, Selasa dan Rabu, 17-18 November, di Gedung The Energy Lt.22, SCBD, Jakarta.

Tidak kurang dari 47 perwakilan dari 23 perguruan tinggi se-Indonesia hadir dalam workshop tersebut, guna membahas upaya meningkatkan pengetahuan dalam sistem integritas di Indonesia, dan membentuk jaringan kerjasama dalam bidang pendidikan yang pro integritas dan anti korupsi di antara universitas di tiap wilayah (regional) khususnya, dan universitas antar region pada umumnya.

Di dalam presentasinya, Klitgaard lebih banyak membahas bagaimana riset di perguruan tinggi dapat berperan dalam pemberantasan korupsi. Tapi secara umum Klitgaard – yang sudah beberapa kali ke Indonesia -- beranggapan masyarakat Indonesia tidak boleh duduk tenang karena soal korupsi di Indonesia bukan masalah yang mudah, apalagi untuk negara besar seperti Indonesia. Tapi masyarakat hendaknya bersikap positif, khususnya karena adanya tiga hal yang juga mendukung upaya itu. Pertama, adanya strong civil society – yakni dukungan luas di kalangan masyarakat sebagai stakeholders --  yang menentang korupsi. Kedua adanya presiden yang memiliki komitmen besar memerangi korupsi. Ketiga, adanya lembaga anti korupsi, KPK, yang tergolong salah satu lembaga anti korupsi yang paling berkesan di dunia. ”Tiga hal itu yang jarang dimiliki negara lain di dunia,” kata Klitgaard.

Klitgaard pernah dinobatkan (oleh majalah Boston Magazine) sebagai salah satu dari 10 profesor paling sexy di Harvard ini menjadi konsultan dan melakukan penelitian di lebih dari 30 negara di Amerika Latin, Asia dan Afrika. Koran The Christian Science Monitor pernah menggelarinya ‘ahli nomor wahid dalam pemberantasan korupsi (“the world’s leading expert on corruption”).

Selain Klitgaard dan Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan, para pembicara lain dalam workshop tersebut di antaranya mantan pimpinan KPK Amien Sunaryadi, I Ketut Putera Erawan (Direktur Eksekutif Institut for Peace and Democracy dan Direktur Pascasarjana program Hak Asasi dan Demokrasi, Universitas Gajah Mada) dan Dr. Kevin R Evans (Senior Integrity Governance Coordinator-Tiri). Besok (Rabu, 17 November) workshop masih berlanjut dengan menghadirkan pembicara seperti Prof.Willy Carada (dari Filipina), Eiji Oyamada,Ph.D (konsultan Tiri International), dan Bambang Widjojanto SH (penasihat hukum lembaga ‘Kemitraan’), dan Dr. Ir. Kuntoro Mangkusubroto.

Anies: Stop Suplai Koruptor.

Menurut Anies Baswedan: hari-hari ini di Indonesia sedang terjadi pergumulan dalam memerangi korupsi. Saya termasuk yang menginginkan agar usaha yang telah dilakukan KPK memiliki daya dorong untuk mengubah kepada keadaan yang lebih baik. ”Sebab, kalau korupsi tidak menjadi bagian penting untuk bangsa ini, maka usaha untuk menyejahterakan bangsa, sesuai janji kemerdekaan, tidak akan bisa terealisir,” kata Rektor Paramadina itu.

Anies yang belakangan ini telah ’melihat korupsi’ dari dekat, menyatakan bahwa perguruan tinggi harus berperan serius menjadi lembaga yang menghentikan supply koruptor, karena bisa dikatakan hampir semua koruptor datang dari sekolah. ”Mungkin kita tidak sadar bahwa seluruh yang terlibat makelar kasus bergelar Sarjana Hukum,” kata Anies. 

Itu sebabnya Anies pernah mengatakan kepada Presiden SBY bahwa di samping tempat untuk mengembangkan upaya pemberantasan korupsi, harus ada kampanye secara besar-besaran untuk menjadikan semua sekolah sebagai ’zona bebas korupsi’. ”Saya sampaikan kepada Presiden bahwa ini merupakan usaha jangka panjang dan hendaknya dimulai sejak sekarang. Mesti ada kampanye yang menjadikan sekolah – sebagai tempat anak, keluarga, guru, dosen – semuanya dapat merasa bahwa di tempat itu (sekolah) tidak ada korupsi,” kata Anies. Jika seluruh populasi usia sekolah yang jumlahnya 46 juta orang di Indonesia melakukan itu, maka Anies optimis hal itu menjadi sebuah upaya yang sangat besar dalam peran memerangi korupsi di negeri ini. 

Demo dan Gaduhnya ’Pernyataan’ Tak Bisa Berantas Korupsi.

Mantan pimpinan KPK, Amin Sunaryadi juga mengatakan, dalam memberantas korupsi, hendaknya kita tidak boleh berpikir jangka pendek, melainkan secara jangka panjang. ”Kita sudah melakukan banyak hal untuk memberantas korupsi selama 54 tahun tapi belum berhasil, dan jangan mimpi bisa berhasil hanya dalam waktu pendek,” kata Amin. Menurut Amin, universitas memiliki dua kekuatan utama, yakni pengetahuan dan jejaring (network). Pertama, para akademisi di universitas adalah yang paling paham (knowledgable) mengenai berbagai macam hal. ”Sayangnya, kekuatan itu jarang dipakai,” tambah Amin. Kekuatan kedua adalah jejaring (networks). Saat ini ada sekitar ratusan macam lembaga penelitian di perguruan tinggi, plus puluhan jenis jurusan dan fakultas. ”Tapi jangan hanya mengharap urusan memerangi korupsi dari jurusan ilmu hukum saja,” kata Amin. Didukung jutaan mahasiswa, ribuan dosen, master, doktor dan guru besar (profesor), maka perguruan tinggi memiliki network yang sangat kuat. ”Kalau kita sudah berhasil melakukan suatu hal kecil di sebuah lembaga, umpamanya, maka kita tinggal mereplikasinya -- dikerjakan secara ramai-ramai melalui berbagai lembaga pengabdian masyarakat yang lain,”tambah Amin.

Itu sebabnya dari analisa yang didasarkan pada hasil penelitiannya sejak 10 tahun yang lalu, Amin -- yang menulis buku mengenai strategi pemberantasan korupsi -- mengetengahkan bahwa universitas hendaknya tidak melakukan sesuatu secara sendiri-sendiri. ”Tapi gunakanlah jaringan, misal sesama universitas,” ujar Amin. Ini menurut Amin lebih penting dari pada sekedar unjuk rasa. ”Kalau cuma demonstrasi dan membuat pernyataan-pernyataan, maka itu bisa dilakukan juga oleh mereka yang tidak punya knowledge dan tidak punya jaringan. Dan itu tidak membawa dampak yang berarti,” tambahnya. 

Pendidikan Integritas.

Di dalam salah satu tulisannya yang dibagikan dalam acara workshop, Robert Klitgaard mengatakan bahwa ada rumus yang memiliki korelasi sistemik dalam soal korupsi, yakni bahwa C = M+D-A. Artinya korupsi ( - disingkat C) sama dengan monopoli (M) ditambah kewenangan (D = discretion) dan minus pertanggungjawaban (alias accountability). Jika sebuah system memberi peluang petugas monopoli kekuasaan terhadap barang atau jasa, dan kewenangan untuk memutuskan berapa banyak klien dapat menerima jasa, dan tidak akuntabel, maka sistem itu cenderung tercemar pemerasan atau penyuapan – tidak peduli apakah jasa itu berupa air, kredit, atau perijinan, dan tidak peduli apakah ia berada di Kamboja, Kameron atau California.

Oleh karena itu, reformasi yang berhasil memberantas korupsi, kata Klitgaard, bisa dilakukan dengan cara mengurangi monopoli, membatasi dan mengklarifikasi segala kewenangan dan mendukung transparansi. 
Tapi bagaimana mencegah korupsi? Salah satu faktor penting yang menyebabkan tingginya korupsi di negara berkembang adalah minimnya pendidikan integritas. Para akademisi maupun mahasiswa tidak dididik tentang cara menguatkan integritas atau banyak dari mereka bekerja di lingkungan yang tingkat integritasnya rendah.

Itu sebabnya, sejalan dengan pernyataan Klitgaard, Anies dan Amin, workshop yang dilakukan ke-23 perguruan tinggi selama dua hari ini sangat penting artinya. Pada prakteknya, setidaknya ada dua tantangan berkaitan dengan rendahnya integritas itu. Pertama adanya dispersion, yakni akademisi dengan pengetahuan dalam bidang integritas menyebar secara tidak merata di berbagai universitas dan wilayah (region). Kedua, rendahnya sumber daya yang dihadapi universitas sehingga sulit mengembangkan modul dalam area integritas ini.

Dalam kaitan dengan itu, Jaringan Pendidikan Integritas Masyarakat (alias PIEN) menyediakan dukungan bagi perguruan tinggi dan organisasi untuk dapat mengatasi tantangan tersebut sehingga dapat menghasilkan skill dan sumber daya untuk perubahan berbasis integritas. Lewat framework itu berbagai universitas dan organisasi di dalam dan luar negeri berkolaborasi guna menghasilkan materi serta resources yang pro-integrity dan anti korupsi. Hal ini dilakukan oleh PIEN melalui berbagai kegiatan akademik seperti konferensi internasional, kursus singkat, dan jurnal akademik, workshop, mentoring dan dukungan untuk penyusunan kurikulum serta pengembangan modul melalui para anggota PIEN di seluruh dunia, dan kegiatan-kegiatan lainnya.

About us

Universitas Paramadina berdiri pada 10 Januari 1998, mengemban misi untuk membina ilmu pengetahuan rekayasa dengan kesadaran akhlak mulia demi kebahagiaan bersama seluruh umat manusia.

Latest Posts

Hubungi Kami

Kampus Jakarta
Universitas Paramadina
Jl. Gatot Subroto Kav. 97
Mampang, Jakarta 12790
Indonesia
T. +62-21-7918-1188
T. 0815-918-1190

E-mail: [email protected]
http://www.paramadina.ac.id 

Kampus Cipayung
Jl. Raya Mabes Hankam Kav 9, 
Setu, Cipayung, Jakarta Timur 13880�
T. 0815-818-1186


Kampus Cikarang

District 2, Meikarta,
Cikarang
T. 0815-918-1192�